4. Ekspetasi Tak Sesuai Realita

56 7 4
                                    

"Hah?" Ini serius? Mata Uma sedang tidak bermasalah, kan? Tuhan sedang tidak gabut kasih kejutan untuknya, kan? Jari telunjuk Uma menunjuk pada pria itu dengan malas. "Lo siapa? Orang asing?"

"Uma?" Sontak Harri mendelik gelisah. Ia berkata di sela mendekap dada bidang dengan satu tangan, "Ini aku Harri, suami Uma."

"HAH?!" Kejutan macam apa ini? Uma ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi apalah days ia mampu lakukan dalam hati saja. "JANGAN NGAWUR LO! MANA MUNGKIN HARRI YANG GUE KENAL JADI KAYAK GINI, ANJIR!"

"AKU CUMA TEGAS PAS DI KANTOR, UMA!" Harri menjerit tak kalah keras. "INI MEMANG SIFAT AKU. PLIS, UMA HARUS PERCAYA SAMA AKU!"

"KAGAK!" Ketika Harri coba sentuh Uma, perempuan ini lebih pilih mundur dan lindungi diri sendiri. "GUE KAGAK PERCAYA!"

"A-AKU BISA JELASIN ASAL UMA BOLEHIN AKU GENGGAM TANGAN UMA!"

"GUE BILANG KAGAK YA KAGAK!" Uma langsung ambil langkah lebar menuju pintu. Walau ucapannya pedas, tapi senyum geli terpatri jelas di bibir Uma. "G-gue pengen kita pisah ranjang dulu."

"Apa? Uma----" Harri menggeleng dengan tatapan makin sayu. "Aku mohon, jangan pisah ranja----"

Tepat Uma buka pintu, seorang gadis pun jatuh terjerembab. Bukan hanya perempuan itu yang buat Uma terbelalak kaget, tapi seluruh anggota keluarga besar Nyonya Besar berdiri di hadapan kamarnya.

"Kania apa-apaan sih?" Nada bicara Harri makin kelihatan paniknya.

"Aduh, nggak bisa nguping deh," rengek perempuan yang terjatuh itu. Lepas bangkit, dia pun bertanya. "Kak Rauma serius mau pisah ranjang sama Kak Harri?"

"Apa? Pisah ranjang?" Kini wanita gempal----tidak terlalu gemuk sih----yang melotot tak percaya. Dia dekati Uma dan genggam pundaknya. "Kamu serius?"

"Iya, Kak Mia." Sejenak Uma lirik, Harri mengangguk mengiyakan. "Uma nggak percaya aku sifatnya kayak gini."

Alih-alih iba, Mia malah tertawa puas. Tawa paling bengek untuk seorang ibu rumah tangga sampai lengan suami jadi korban tepukannya. "Makanya jadi cowok cool dong. Ya kali di kantor kentara banget pas di rumah kayak bayi?"

"Kak Mia!" Sial banget Uma tengok suami barunya. Matanya langsung menyipit heran. Kayaknya ucapan Mia benar deh. Ekspresi kesal Harri mirip bocah ngambek tak dibelikan es krim.

Berasa jadi emak gue. Tepukan lembut di pundak Uma menyita perhatian. Itu Awan bersama balita laki-laki dalam gendongan.

"Aku sudah bilang sama kamu, kan?" tanyanya tersenyum geli.

"Oh!" Uma sadar baru mengetahui satu hal. "Mas Awan ternyata...."

"Suami Mia," kata Awan tertawa renyah. "Istri saya adalah putri sulung mama. Lalu...."

Awan melihat buah hatinya sedang menggapai di depan Uma, seperti minta gendong. "Kayaknya Aka pengen kenalan sama kamu. Bisa gendong dia sampai Aka tidur?"

"Hah?" Gendong anak orang sampai tidur? Ia lekas menampik tawaran Awan. "S-saya nggak bisa gendong dia sampai tidur."

"Nggak masalah, Aka nggak rewel kok. Dia malah senang kenalan sama orang baru." Yah, mau tak mau, kan? Uma coba gendong Aka dan menggelitik dadanya sebentar. Anak itu tertawa, sangat menggemaskan. Andai Aka benaran tidak rewel, Uma tak keberatan bawa dia ke rumah.

"Kak Raur, senyum!" Sekonyong-konyong, Kania rangkul Uma guna menatap kamera depan ponsel. Dalam satu ketuk, sebuah foto berhasil tersimpan.

"Namanya Uma, Kania," kata Harri berusaha berada di tengah-tengah mereka.

CEO Kejam untuk Cewek DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang