3. Definisi Harimau

61 7 4
                                    

Hari pernikahan telah tiba. Meski nikah kontrak, Uma tetap saja gugup. Selesai dirias, Nyonya Besar datang. Uma kali ini tampak cantik dengan rambut disanggul rapi dan berbalut kain tembus pandang. Lihat pula gaunnya. Warna putih, berbahan katun, tapi memiliki banyak hiasan payet dan sulam sewarna di sana. Uma memang minta Nyonya Besar agar tak memilih gaun berbahan kain yang menunjukkan lekuk tubuh.

"Sudah siap buat salam-salaman sama tamu?" tanyanya seraya bantu MUA bereskan puluhan make up dan sampah seperti kapas.

Tentu Uma tak menjawab. Pikirannya telanjur menerawang di balik tatapan teduhnya. Saat sesi ijab kabul saja ia ketakutan sampai rela masuk kamar ketika acara akadnya selesai. Bayangan wajah Harri tanpa ekspresi dan tatapan dingin pada penghulu buat Uma bergidik. Terus terang, Harri tergolong tampan. Maksud Uma, siapa yang tidak tertarik sama dia? Namun, dalam pernikahan kontrak saja muka Harri sudah tak bersahabat, bagaimana ketika bangun rumah tangga benaran? Bisa-bisa....

"Kamu itu becus atau tidak sih? Kenapa buat sarapan bisa sesiang ini?"

"Saya nggak mau tau. Sesuai kontrak, berarti semua pekerjaan rumah ini kamu yang lakuin."

"Apa? Kamu capek? Itu bukan urusan saya. Kita hanya jalani kegiatan rumah tangga sesuai isi kontrak."

Dan segelintir kata-kata pedas yang terlintas di benaknya membuat Uma makin rendah diri. Ia mulai ragu akan tekadnya sendiri. Apa Uma sanggup jalani rumah tangga bersama Harri walau hanya sementara?

Entahlah, Uma juga tak yakin.

"Rauma?" Sontak sang pemilik nama terkejut. Wanita setengah abad itu duduk di sampingnya, entah beliau ambil kursi dari mana. Seperti tahu perasaan Uma, Nyonya Besar mulai memeluk dan mengusap punggungnya. "Kalau kamu masih belum siap, nggak apa-apa istirahat dulu sampai kamu merasa siap."

"Nggak." Uma lekas lerai pelukannya. Tatapan seorang manajer dingin tetap melekat di balik matanya. "Saya sudah siap."

"Oke...." Beliau beranjak dari duduknya sambil ulurkan tangan. "Tapi bila terjadi apa-apa, jangan sungkan minta tolong sama saya. Paham?"

Ketika Uma menjabat uluran tangan Nyonya Besar, ia berkata, "Dimengerti."

Mereka pun keluar dari kamar. Dari kesunyian berubah jadi keramaian yang tidak memekakkan telinga. Lagu mellow mengisi kelangsungan acara untuk berikan kenyamanan bagi para tamu. Yah, tetap saja aneh bagi Uma, biasanya kalau hadiri pernikahan tetangga pasti dengarnya lagu dangdut. Maklum sih, kan semua tamunya orang kaya, pikir Uma meringis dalam diam.

Di tempat singgsana pengantin, ada Harri sedang mengamati pemandangan di hadapannya. Sorot mata Harri terkesan tak menyukai pesta ini. Andai posisi Uma jadi tamu, sudah pasti ia titipkan sepucuk amplop berisi uang lalu pergi secepat mungkin. Namun, apalah daya. Uma harus mendampingi Harri, setidaknya selama Nyonya Besar ada di samping Uma. Ketika mereka saling menyalami tamu dan berbincang sebentar, energi Uma seakan terkuras habis. Ia tak lagi fokus, kadang sesak napas dan sempat terhuyung lemas. Begitu Nyonya Besar minta Uma untuk makan, barulah ia sadar telah lewatkan banyak hal.

Uma tak menyangka akan secepat ini. Acara tadi tak melibatkan komunikasi antara Uma dan Harri bahkan ia tak tahu ada puluhan panggilan tak terjawab dari adik-adiknya. Pesan pun bejibun dengan kalimat menohok.

[Kakak ke mana sih? Mama nyariin tuh.]

[Gue paham. Kakak udah bosan rawat kita sama Mama?]

[Kayaknya tau kita m4ti pun Kakak bodo amat, ya.]

Bukan begitu maksudnya.

****

Sehari pasca menikah, Uma kembali bekerja. Ia bersikap seperti biasa. Dingin pada rekan-rekannya. Seolah hari pernikahannya benar-benar tak terjadi. Ketika Uma dapat pesan adiknya kemarin, ia lekas pamit pulang pada nyonya besar dan bilang baru menempati rumah barunya selepas kerja. Pasal itu pula, Uma harus bohong pada sang adik.

CEO Kejam untuk Cewek DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang