5. Rencana Uma

41 6 2
                                    

Dipecat ... katanya? Mengingatnya saja bikin Uma makin kesal. Memangnya dia siapa sampai berani bilang begitu? Kalau ia lihat kedekatannya dengan keluarga nyonya besar, Clarissa terkesan seperti orang asing. Cewek itu tak dianggap dalam keluarga beliau. Berbanding dengan Uma. Sekalinya hadir dalam kehidupannya, mereka menganggapnya sebagai keluarga, bukan tamu atau orang tak dikenal.

Sialan, sialan, SIALAN! Kekesalan Uma tumpah lewat pukulan meja. Nasib baik kopi yang ia buat sebelum bekerja. Ia tak bisa fokus seperti biasanya. Ini bukan Uma yang selalu fokus dalam bekerja. Ia mempertanyakan diri sendiri. Apa yang terjadi dengannya? Barangkali otak dan matanya lelah, Uma izin ke toilet, padahal hanya berdiam di wastafel tanpa hadapkan ke cermin. Sudah cuci muka pun, Uma masih merasa penat. Lelah fisik dan batin.

"Ayo, Ma." wanita itu lekas tepuk pipinya dengan keras. "Fokus. Lo nggak boleh turunin kualitas kerja lo cuma gara-gara tuh cewek ganjen. Kerjaan lo jauh lebih berat, Rauma Shani."

Barangkali dengan peringatan pada diri sendiri, Uma jadi lebih fokus. Uma kembali berkutat dengan komputer. Alih-alih larut dalam tugas, pikiran Uma semakin rajin memikirkan Clarissa. Dia membuat Uma frustrasi. Gara-gara dia, Uma diberitahu Kana bahwa isi laporannya banyak yang salah. Istirahat pun terpakai untuk perbaiki laporan, bukan merumpi bersama Kana. Meski Kana yang menawarkan diri menemaninya kerja ekstra sambil bercanda, Uma lebih pilih menolak. Kasihan Kana tak bisa curahkan berita panas pada rekan yang stres kerja.

Sampai tiba jam pulang kerja, Uma habiskan bergelas-gelas air putih di dispenser dekat meja salah satu temannya. Bahkan karena suatu kesalahan kecil, Uma rela periksa hasilnya puluhan kali.

"Akhirnya beres...." Uma lekas simpan hasil ubahan laporan dan bersandar sambil embuskan napas lega.

"Buset dah, Uma." Kana berdiri di hadapan Uma. Mukanya cemas. "Muka lo pucat amat. Mau rebahan dulu di ruang kesehatan?"

"Nggak usah." Uma beranjak dari kursi. Daya penglihatan Uma benar-benar parah hari ini. Ia sampai salah ambil barang, macam yang harusnya ponsel malah mouse kantor. Untung Kana mencegah.

"Fix sih, lo kudu istirahat habis sampe di rumah," kata Kana merangkul pundak Uma supaya tak terhuyung bila terjadi pingsan. "Gue antar lo pulang ye."

"Nggak-nggak...." Tatapan Kana makin kentara gelisah begitu dengar suara Uma kian melemah. "Gue pengen ke kafe...."

"Tapi janji langsung telepon gue kalau lo dah selesai healing di sono ye, Ma. Lo jangan bikin gue takut."

"Iya-iya...."

****

Di kafe pun, pelayannya ikut khawatir akan kondisi Uma yang mirip pasien tipes. Tapi wanita itu jelaskan bahwa ini hanya stres ringan. Secangkir teh hitam dapat menyegarkan tubuh kata Uma. Entah kenapa tiba-tiba datangnya bersama sepiring french toast isi cokelat.

Tak apalah, penting Uma minum teh. Sensasi hangat mengaliri kerongkongan menuju perut. Ia hirup uapnya, hidung Uma jadi segar. Pikirannya tak lagi kusut meski bayangan Clarissa masih menghantuinya.

"Apa yang terjadi sama gue sih?" Ia mempertanyakan dirinya. Setitik air mata jatuh basahi pipi. Lepas taruh cangkir ke tempat semula, Uma menangkup mukanya. "Plis, jangan gini, Uma.... Jangan gini...."

Di sela ia menangis, ada suara orang tengah tarik kursi. Setidaknya suara tersebut alihkan fokus Uma, lantas ia lihat sambil seka muka.

Tunggu, itu kan.... "Kakaknya pak Harri?"

****

Malam ini, Uma masih pisah ranjang dengan Harri. Waktu mereka bertemu kembali, Uma tetap pada pendiriannya untuk buang muka dari pandangan Harri. Alhasil, pria itu meringkuk di atas kasur dengan muka sayu macam hendak menangis. Uma masa bodoh selama belum bisa terima perubahan drastis ini.

CEO Kejam untuk Cewek DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang