2. Menjadi Calon Istri Harri

72 8 3
                                    

Uma punya kebiasaan bangun pagi buta. Meski hari ini libur, Uma tetap melakukan pekerjaan rumah yang semula dikerjakan sang ibu semasa sehat. Memasak. Mencuci baju. Bersih-bersih rumah. Sampai menyuapi ibunya yang terbaring lemah di ranjang tidur. Tak apa, Uma sudah terbiasa. Ia menyukai kebiasaan ini.

Biasanya, kegiatan wajib Uma di pagi hari akan selesai sekitar pukul tujuh pagi. Sisa waktu luang di rumah selalu ia habiskan dengan rebahan menonton film atau membaca buku. Namun, kali ini Uma dapat panggilan masuk. Sebuah nomor tak dikenal. Lantas Uma mengernyit bingung. Siapa yang berani ganggu me time-nya? Dari pada penasaran terus, Uma mengangkat telepon tersebut.

"Halo, dengan siapa?" Meski nada bicaranya terdengar sopan, muka Uma dingin tak berekspresi.

"Saya ibunya Harri, Rauma."

"Ny-nyonya besar?" Uma langsung melotot panik. Dari mana beliau tahu nomornya? Maksudnya, kok bisa? Uma panik, berharap otak beku ini mampu merangkai kata menjadi kalimat sopan untuk Nyonya Besar. "M-maaf, saya ... tidak tau kalau Anda yang menelepon."

"Tak perlu minta maaf," katanya berdeham sejenak. "Saya dapat nomor hape kamu dari Harri."

Uma makin tercengang mendengarnya. Sejauh mana Harri mengulik kehidupan pribadinya? Sampai nomor ponsel Uma pun dia tahu.

"Kamu nggak sibuk sekarang?"

"Ah, t-tidak terlalu, Nyonya," jawab Uma gelagapan.

"Aduh, jangan panggil saya Nyonya dong." Nyonya Besar tertawa lembut. Jujur saja, cara beliau tertawa juga malah terdengar elegan. "Sebentar lagi kan saya jadi mertua kamu."

Meski disebut mertua gue, tetap aja dia Nyonya Besar, batinnya di sela tersenyum masam. "B-baik...."

"Kalau kamu nggak sibuk, bisa mampir ke kantor dulu? Kita ketemuan di sana."

Ada keperluan apa, ya? Uma penasaran. "Baik, saya akan segera ke sana."

Usai akhiri sambungan telepon, Uma bergegas ganti baju sambil menduga-duga. Apa pertemuannya berkaitan dengan pernikahan yang beliau maksud? Atau sekadar pekerjaan tambahan?

Tidak, kayaknya opsi kedua nggak masuk di akal.

****

"Maaf, sudah membuatmu repot."

"Tidak apa-apa, Nyonya."

"Sudah saya bilang jangan panggil 'Nyonya'. Panggil saya 'Ibu'."

Terus terang, ini di luar ekspektasi Uma. Beliau bukan mengajaknya ke perusahaan lain untuk meeting atau apapun yang berhubungan dengan pekerjaannya. Namun, mampir ke sebuah vila untuk beri masukan pada dekorasi pernikahan? Nyonya Besar mau adakan acara semegah ini untuk anaknya, padahal Harri akan berpasangan dengan Uma. Iya, seorang Rauma Shani yang ekonominya pas-pasan.

Tirai putih menyelimuti ruangan yang mungkin luasnya dua kali lipat dari rumahnya. Banyak sekali bunga-bunga di setiap meja dan hiasan kursi pengantin. Yang bikin Uma terperangah ialah warna kursi pengantin. Emas dan putih. Itu terlalu mewah. Belum lagi meja panjang di sebelah kanan. Belum lagi kursi tamu yang elegan. Belum la----argh, waktu Uma kondangan ke tetangga paling kaya saja tidak semegah ini. Sungguh kekuatan seorang pebisnis.

"Bagaimana menurutmu, Rauma?"

Lamunan Uma pun buyar. Ia gelagapan ketika menanggapi sang calon mertua.

"Barangkali ada bagian dekorasi yang nggak kamu suka, bilang aja sama saya," sambungnya kembali amati proses menghiasi ruangan. "Harri yang pilih loh. Katanya kamu suka warna putih."

"I-iya, tapi...." Demi apapun, Uma masih telum terima atas kejadian ini! Mana Nyonya Besar malah tertawa karena reaksi Uma.

"Santai aja, Nak." Beliau masih tertawa ketika menyadari teleponnya berdering. Dalam sekejap, tatapan Nyonya Besar menjadi dingin seperti raut mukanya. "Kau bisa keliling mengamatinya kalau mau."

CEO Kejam untuk Cewek DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang