Di dalam ruang kelas yang sangat luas dan mewah, dengan setting tempat duduk ala teater, Pon duduk di deretan paling depan sisi kiri, dekat dengan meja dosen. Ya, ia selalu duduk di posisi seperti itu, jika tidak keduluan mahasiswa lain. Menurut mahasiswa yang duduk di sebelahnya, mata kuliah ini termasuk sulit karena mahasiswa dituntut untuk menguasai Solfegio, kemampuan pendengaran atau ketajaman pendengaran musik, baik ketepatan ritmik maupun ketepatan nadanya. Pon hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan teman barunya itu. Tak lama kemudian ruangan menjadi sunyi dengan masuknya sang profesor.
Profesor Spy berjalan dengan penuh kharisma. Kacamata berbingkai hitam sangat sempurna menghiasi wajahnya yang tampan. Bibirnya yang penuh dan sensual serta tatapan matanya yang tajam mengintimidasi membungkam tatapan kagum mahasiswi-mahasiswi di kelas Pon. Mereka ingin menjerit tapi takut dengan image killer dosen ganteng mereka itu.
Pon mengamati Profesor Spy dengan seksama. Kesan killernya sangat kental. Dingin dengan tatapan tidak ramah yang mengintimidasi. Menurut Pon, dosennya itu belum terlalu tua. Tebakannya mungkin di awal 40 an. Pon berpikir pasti ia orang hebat karena sudah meraih gelar profesor di usianya yang masih muda. Stereotip seorang profesor pastilah sudah mencapai usia 60 tahun lebih.
Kuliah dimulai. Suasana kelas tenang, tidak ada yang berani berbicara jika tidak diminta atau ditawarkan untuk berbicara atau bertanya. Menurut Pon kelasnya membosankan tapi apa yang bisa diharapkan dari kelas yang mayoritas adalah teori. Pon memperhatikan kuliah dengan sungguh-sungguh karena ia sadar mata kuliah ini pondasi dasar untuk menjadi sorang pianis yang handal. 2 jam kemudian, kuliah selesai dan siswa bubar berhamburan keluar. Pon masih duduk ditempatnya, menanti kelas sepi. Ia tidak suka berdesakan atau bertemu dengan orang lain. Ia selalu nyaman sendiri kecuali dengan Phi Benz, sahabatnya sejak di Sekolah Dasar.
Kenapa tidak keluar? Ada kelas lagi disini?', Spy bertanya kepada Pon sambil mengemasi buku-bukunya.
"Eh..ya Prof. saya nunggu sepi dulu", jawab Pon. Ternyata ia gugup juga. Mana pak dosen tampan lagi meski wajahnya dingin terkesan tidak ramah.
"Ok, saya duluan", sambung Spy, berjalan meninggalkan Pon yang masih tidak nyaman.
Pon berpikir untuk selanjutnya sebaiknya ia tidak duduk di tempatnya yang sekarang. Ia benar-benar tidak nyaman, terutama jantungnya, sangat tidak aman. Kelas sudah sepi, tinggal beberapa mahasiswa yang berjalan santai menuju pintu keluar. Akhirnya Pon bangkit dan keluar ruangan, perutnya sudah keroncongan. Ia menelpon Phi Benz mengajaknya ke kantin.
Sesampainya di kantin, Pon melihat Phi Benz, sudah duduk di sebuah meja, malambaikan tangan kepadanya. Pon berlari kecil menuju meja Benz.
"Phi Benz!!! Bener yang kamu bilang, Prof. Spy....ngerii", Pon bercerita tentang dosen killernya yang terkenal itu.
"Hahaha...selamat tegang di kelasnya ya. Ikuti dengan baik dan perhatikan, bertanya kalau tidak jelas, menjawab jika memang kamu yakin bisa menjawab jangan uji kesabarannya, pasti aman sampai end of the semester". jawab Benz sambil mengacak sayang rambut Pon. Benz memang sesayang itu sama Pon. Kalau tidak ingin merusak persahabatnnya, ia sudah menjadikan Pon pacarnya.
"iya. Phi. Siap grak!", jawab Pon dengan mimik imut andalannya.
Dari kejauhan, sepasang mata mengamati interaksi Pon an Benz dengan ekpspresi tidak suka. Siapa lagi kalau bukan Spy.
"Prof? Bisa mengganggu sebentar?" kejut Prof. Lee Wattana menghentikan pengintaian Spy.
"Eh..., Prof. Lee? Bisa saya bantu?" jawab Spy gugup.
"Tentang audisi pianis solo, Prof. Apakah bisa segera kita umumkan?" tanya Prof. Lee.
"Oh, itu. Apa sudah siap semua? Flier? Juri? Tempat?" balas Spy.
"Tim sudah menyiapkan semua, baru saja mereka chat saya. Everything is ready", jawab Prof. Lee jenaka. Ia agak curiga dengan Prof. Spy yang mengamati dua orang mahasiswanya yang sedang makan di kantin. Bukankah itu Pon? Pianis berbakat di kelasnya.
"Ehem..itu Pon kan?" tanya Prof. Lee memecah kesunyian. Rupanya Spy melanjutkan aktivitas pengintaiannya.
"Anda tahu?" tanya Spy heran. Ah..mungkin anak itu juga mengambil salah satu kelas Prof. Lee, batin Spy.
"Anak itu jenius. Dia di kelas Praktik Instrumen Individu' saya", jawab Prof. Lee tanpa melepaskan pandangan dari Pon.
"O ya?" tanya Spy penasaran.
"Ya. Makanya saya tanyakan audisi ini karena saya ingin supaya dia terpilih mengingat bakatnya sangat luar biasa, Dia pecinta Chopin", jelas Prof.Lee.
"Ya, saya tahu", jawab Spy ragu.
"Ha? Sudah melihat dia bermain?" tanya Prof. Lee sedikit kaget. Setahunya Kelas Prof. Spy untuk mahasiswa semester awal hanya Solfegio, tidak meminta praktik bermain instrumen.
"Ah...eh..itu, anu..eh...Prof. Lee, saya ke ruangan dulu ada yang harus saya kerjakan", gugup Spy mengalihkan pembicaraan dan berlalu sambil melambaikan tangannya pamit ke Prof. Lee. Prof. Lee hanya tersenyum penuh arti.
Lalu Prof. Lee berjalan ke meja Pon dan Benz.
"Pon!", sapa Prof. Lee.
"Oh, Prof. Lee, Sewadee Khab, Prof. Lee", jawab Pon memberi wai. Benz mengikuti.
"Besok ada audisi solo piano. Ikut ya", Prof. Lee berkata.
"Sungguh, Prof? Khap Prof. Khop khun khub", jawab Pon dengan mata berbinar-binar.
"Ok. Saya tunggu di Ruang recital, ya, jam 9 mulai." jawab Prof. Lee sambil berjalan meninggalkan Pon dan Benz.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Buat Pon
FanfictionPon Thanapon, seorang mahasiswa jurusan musik spesialisasi piano di sebuah universitas ternama di Thailand jatuh cinta kepada dosennya, Prof. Spy Hemmawich yang terkenal killer. Mampukah Pon meraih hati sang professor?