Pizza! Baiklah, meski bukan makanan yang baik untuk makan malam, tetapi setidaknya cukup buat mengganjal perut yang sejak tadi memang sudah meronta minta diisi. Kulihat Shanum tengah bermain dengan Mbok Sum. Dua potong makanan khas Italia itu sudah cukup membuatku kenyang. Ku teguk air mineral hingga tandas meninggalkan soft drink yang tersaji di depanku.Sejak beberapa tahun yang lalu aku sudah menjauhi minuman softdrink dan semacamnya, karena memang menurut beberapa artikel kesehatan yang ku baca, minuman seperti itu tidak baik untuk tubuh, meski kedua rekanku masih setia meneguknya.
"Sudah jam delapan, Mbok, sepertinya Shanum harus tidur."
"Iya, Mbak. Biasanya juga jam segini Shanum tidur."
Aku mengangguk kemudian meminta agar Mbok Sum juga beristirahat.
"Oh iya, Mbok, Mas Damar tadi bilang nggak jam berapa pulangnya?"
Aku mulai gelisah, bukan karena apa-apa, tetapi jika pria itu tiba semakin malam, itu artinya kecil kemungkinan aku untuk pulang, karena pasti akan lebih repot karena Shanum tentu akan terbangun lagi.
"Maaf, Mbak, Mas Damar nggak bilang apa-apa."
Ya Tuhan! Kenapa aku jadi seperti seorang istri yang menunggu suaminya? Nggak, nggak! Dia mau pulang jam berapa pun bukan urusanku! Lagipula anak ini juga bukan urusanku, 'kan?
Kenapa aku resah dan harus menuruti apa yang diinginkan pria itu? Emangnya dia siapa berani mengacaukan jadwal hidupku? Setelah Shanum tidur, kurasa aku harus pulang! Biarkan saja Damar nanti berpikir apa tentangku, toh dia juga seenaknya!
"Mbak? Shanum sudah tertidur, sebaiknya dipindah ke box-nya." Mbok Sum menatapku heran. "Mbak saya perhatikan kok melamun terus? Mbak pasti kecapekan, ya?"
"Nggak, Mbok. Oke, biar saya yang pindahkan Shanum ke ranjangnya."
Pelan kuangkat bayi cantik itu dan meletakkannya di ranjang, tentu saja tak lupa kucium pipinya. Wangi bayi menurutku adalah wangi yang paling bisa membuat siapa pun tenang.
"Saya ke kamar dulu ya, Mbak. Mbak kalau butuh sesuatu bisa pencet bel itu," ujarnya sembari menunjuk tombol yang berada tak jauh dari ranjang Shanum.
"Baik, Mbok. Makasih, ya, sudah bantuin saya."
"Itu sudah tugas saya, Mbak. Oh, iya, Mbak kalau mau istirahat bisa tiduran di ranjang itu. Biasanya Mas Damar juga tertidur di sana kalau kecapekan dan nggak sempat tidur di kamarnya."
Aku menatap ranjang berukuran queen size dengan bed cover putih di sebelahku.
"Mbak nggak usah khawatir, karena Mas Damar bawa kunci sendiri, jadi bisa masuk jam berapa pun," paparnya.
Aku mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih.
Setelah Mbok Sum pergi, kulihat kembali arloji. Baiklah! Jarum jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, sepertinya akan semakin jauh keinginanku untuk kembali ke kost-an. Andai bisa menghubungi pria itu sudah pasti akan ku hubungi dan mungkin ku maki-maki dia. Sayangnya aku bahkan tidak memiliki nomor teleponnya.
Sayup-sayup terdengar suara petir, cuaca memang tidak bisa diprediksi akhir-akhir ini. Aku melangkah ke jendela sedikit menyibak tirai berwarna pink untuk mengetahui cuaca di luar. Dari temaram lampu terlihat rinai mulai turun.
Kembali aku mendekat ke box Shanum, bayi berkulit putih itu terlelap. Andai pernikahanku dulu baik-baik saja, pastilah sudah memiliki bayi juga, tetapi dalam hidup apa pun bisa terjadi, bukan? Bahkan pada orang yang kamu sangat menggantungkan harapan indah padanya.
Aku mulai merasa ngantuk. Sedikit ku regangkan tubuh menghalau rasa itu, tetapi sia-sia. Mataku seolah meminta dipejamkan. Teringat ucapan Mbok Sum agar aku tidur di ranjang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us -- Lebih Cepat Ada Di KBM App/ Sudah Terbit E-booknya!
General FictionPernah gagal dan bercerai saat pernikahan baru seumur jagung adalah hal yang benar-benar membuat terpukul. Namun, siapa sangka jika akhirnya seorang bayi telah membuat hati Kania terikat? Kania yang telah mengubur dalam-dalam impiannya itu kini just...