Kulihat dari dalam kedua pria itu sedang berdebat, sesekali Andika menunjuk-nunjuk Damar dengan paras meradang, sementara Damar terlihat lebih tenang. Akan tetapi, tentu saja hal itu tak harus terjadi. Tanpa berpikir amarah Andika, aku keluar dari mobil."Andika, cukup!" seruku mendekat.
Dia menoleh dengan ekspresi mata membulat dan wajah merah. "Kamu ngapain keluar? Kamu nggak ingat perintahku?"
"Maaf, tapi aku nggak suka keributan. Tolong hentikan! Ini di tempat umum, di pinggir jalan! Kamu nggak malu?"
Andika menyipitkan matanya, kemudian perlahan bibirnya tertarik singkat ke satu sisi.
"Kamu kenapa seperti sedang menyalahkanku, Kania? Ada hubungan apa kamu dengan dia?"
Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkan, tetapi kali ini Damar mendengar ucapan Andika.
"Andika, cukup! Aku nggak mau ikut kamu! Aku mau pulang!"
"Kania! Nggak! Kamu nggak boleh pulang! Kamu harus ikut aku!" bentaknya maju mendekat, tetapi tanpa kuduga, Damar lebih menarik cepat lenganku sehingga kini dapat mendengar jelas detak jantung dan hangat napasnya.
"Lepaskan Kania! Aku suaminya!"
Aku menggeleng dengan kepala mendongak berharap Damar mengerti.
"Suami seperti apa yang membuat istrinya takut?"
Tawa Andika pecah, sungguh! Aku muak mendengarnya.
"Kania, Kania! Kamu adalah perempuan paling munafik yang kukenal! Kamu perempuan pembohong!"
Aku tak bergerak berada dalam dekapan Damar. Meski di kondisi yang tidak baik-baik saja, aku merasakan dia bisa membantu keluar dari situasi ini.
"Maaf, bukan saya mau ikut campur urusan Anda dengan Kania, tapi saya tidak bisa melihat dan membiarkan siapa pun yang memperlakukan perempuan seperti yang Anda lakukan terhadap dia."
Andika diam, tetapi dia maju dan menarik kasar tanganku. Namun, lagi-lagi Damar menahannya, dia melindungiku dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menahan Andika.
"Cukup, Andika! Aku sudah bukan istrimu. Sampai kapan pun aku nggak akan kembali padamu! Tolong, bersikaplah dewasa, kita sudah bukan siapa-siapa lagi." Aku mencoba melepaskan diri dari dekapan Damar.
Kurasakan pria itu kini menggenggam tanganku. Sementara Andika bungkam, matanya yang masih berkilat itu menatapku seakan tengah merencanakan sesuatu.
"Maaf, saya akan bawa Kania pulang ke tempat tinggalnya!"
"Kania, ayo! Cepat masuk mobil!" titah Damar masih menggenggam tanganku.
Tanpa suara, aku mengangguk mengikuti titahnya. Tentu saja mengabaikan teriakan dan sumpah serapah dari Andika.
"Sementara kamu ke rumahku!" tuturnya saat mobil perlahan menjauh.
Aku tak menjawab, insiden yang terjadi barusan benar-benar kembali memunculkan ketakutan yang sebenarnya telah terkikis pelan-pelan.
"Aku khawatir kalau saat ini pulang ke kost." Dia menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan.
Aku tak menjawab . Otakku cepat berpikir untuk pindah ke tempat lain.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Silakan." Kurapikan rambut yang mengganggu wajah.
"Sebenarnya siapa Andika? Maaf, tapi kalau kamu keberatan untuk bercerita, aku nggak maksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us -- Lebih Cepat Ada Di KBM App/ Sudah Terbit E-booknya!
Ficção GeralPernah gagal dan bercerai saat pernikahan baru seumur jagung adalah hal yang benar-benar membuat terpukul. Namun, siapa sangka jika akhirnya seorang bayi telah membuat hati Kania terikat? Kania yang telah mengubur dalam-dalam impiannya itu kini just...