"Maaf, aku ... aku ...." tuturnya sembari mengusap wajah. "Eum ... aku ambilkan obat. Sebentar." Dia menyodorkan ponsel padaku. "Biar kamu nggak gelap."
Aku yang masih diliputi rasa terkejut hanya bisa mengangguk menerima ponsel Damar. Sepeninggal dia, kini justru napasku yang memburu. Bagaimana tidak, beberapa detik yang lalu aku begitu cepat larut dalam perasaan. Sentuhan lembut bibirnya menyapa bibirku dan itu terjadi sangat cepat tanpa bisa kutolak.
Berkali-kali ku maki diri sendiri, ternyata aku begitu lemah! Iya, lemah menghadapi pria itu. Ingin rasanya saat ini aku bersembunyi entah di mana yang penting tidak terlihat oleh Damar, tapi tentu saja tak bisa, karena selain rumah besar ini bukan rumahku, kakiku pun seperti sengaja menciptakan suasana semakin awkward.
Damar kembali muncul, tepat saat lampu menyala. Di tangannya membawa perlengkapan untuk mengobati lukaku.
"Tunggu! Biar aku saja," tolakku saat dia hendak mencuci kakiku dengan cairan steril.
"Kamu yakin?" tanyanya.
Aku mengangguk sembari menyerahkan ponselnya. Jujur aku sebenarnya takut juga karena kulihat darah sudah mengotori ranjang, dan itu membuatku bergidik. Karena selain nyeri, aku tak menyangka jika darahnya sebanyak itu.
"Kania, kita ke dokter, ya." Wajah Damar tampak khawatir.
"Nggak, aku nggak apa-apa. Sini, biar aku obatin sendiri!"
"Nggak, Kania! Kamu harus ke dokter!"
"Please, ini sudah dini hari, sebentar lagi pagi jadi nggak perlu sekarang."
Pelan-pelan dibersihkan lukaku, sementara Damar tetap berdiri di tempatnya.
"Aku bisa sendiri, Mas."
Akan tetapi, rupanya dia tak mengindahkan ucapanku. Secepat waktu sudah berganti tempat. Dia menggendongku keluar kamar diiringi tatapan mata Mbok Sum dan Pak Mopo.
"Mbok, tolong jaga Shanum, Pak Mopo antar saya ke klinik!"
Kedua asisten rumah tangganya itu mengangguk. Kulihat Pak Mopo dengan cepat melesat mendahului langkah Damar, sementara aku hanya bisa memejamkan mata menahan nyeri pada kedua telapak kakiku.
"Aku, 'kan sudah bilang kalau nggak apa-apa! Kenapa aku di ...."
Lagi-lagi aku dibuat mati gaya saat telunjuknya menempel ke bibirku.
"Aku nggak mau terjadi sesuatu padamu!"
"Ini cuma luka kecil."
Damar tak menjawab, dia hanya menatapku dengan tatapan lembut yang seketika kembali mengantarku pada kejadian saat lampu mati tadi.
"Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai kamu kenapa-kenapa. Paham?"
Kali ini aku mengangguk. Percuma berdebat dengan dia, karena aku akan kalah atau lebih tepatnya mungkin memilih diam.
**
"Aku bilang juga apa? Jangan sok kuat!" sindirnya saat kami kembali masuk ke mobil. "Untuk sementara kamu tinggal di rumahku!" Nadanya seperti tengah memerintah.
"Nggak, makasih, aku ke kost aja, nggak jadi pulang."
Karena tentu ceritanya akan semakin panjang kalau aku tetap memaksa untuk pulang. Sudah bisa kebayang seperti apa reaksi Mama, beliau pasti akan mengorek-ngorek penyebabnya.
"Ke kost? Kamu yakin?"
"Iya."
"Oke!"
"Eum, Mas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us -- Lebih Cepat Ada Di KBM App/ Sudah Terbit E-booknya!
BeletriePernah gagal dan bercerai saat pernikahan baru seumur jagung adalah hal yang benar-benar membuat terpukul. Namun, siapa sangka jika akhirnya seorang bayi telah membuat hati Kania terikat? Kania yang telah mengubur dalam-dalam impiannya itu kini just...