Between Us 25

338 119 15
                                    

Damar menyandarkan tubuh di kursi dengan kedua tangan dilipat di dada.

"Beberapa waktu lalu aku lihat kamu di hotel Alamanda."

"Oh, itu. Iya, Mama sama Papa kebetulan ada acara di sana."

"Oh, ya? Tapi aku lihat kamu duduk dengan pria ...."

"Dia Aksara."

"Iya, aku tahu, dia fotografer yang karyanya selalu keren. Aku pernah pakai jasanya untuk perusahaan beberapa waktu lalu."

"Oh, ya?"

Dia mengangguk. 

Suasana kembali hening.

"Kamu jadi pulang?"

"Iya. Sepertinya begitu, karena aku takut. Mungkin aku harus menenangkan pikiran dulu."

"Aku antar kamu!"

Mendengar penuturannya, tentu saja aku tak menyangka. 

"Nggak perlu, aku bisa naik taksi online."

"Kamu menolak?"

"Bukan begitu, tapi itu akan merepotkan, dan aku ...."

"Aku nggak merasa direpotkan," potongnya.

"Tapi ...."

"Aku nggak mau terjadi apa-apa lagi padamu."

Kalimat Damar merasuk perlahan ke dada menciptakan desir hangat yang tak biasa. Ya, Tuhan, pria ini benar-benar telah menghadirkan semua yang tak pernah kuinginkan.

"Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Karena kupikir pria itu akan terus mengejarmu."

Aku membasahi tenggorokan, mendengar ucapan Damar tentang Andika. Memang benar, aku pun sebenarnya sangat takut jika hal itu terjadi. Akan tetapi, tak mungkin, bukan jika berkata terus terang padanya?

"Kania."

"Ya?"

Kali ini kurasa tatapan mata Damar berbeda. 

"Aku tahu mungkin ini terlalu cepat, tapi kamu pasti tahu siapa Shanum dan aku ...."

Damar menarik napas dalam-dalam.

"Semoga aku nggak terlambat."

"Terlambat? Terlambat untuk apa?" Kubalas tatapannya. 

Perlahan dia meraih kedua tanganku, dan aku tak bisa menolak. 

"Apa mungkin Shanum bisa memiliki mama sepertimu?" Suaranya lirih, tetapi penuh penekanan. 

Kalimat itu jelas ambigu, dan masih butuh penjelasan. Apa maksudnya?

"Oke, mungkin kamu bingung, tapi aku merasa kamu perempuan yang bisa mengerti putriku."

"Maksudnya?"

"Iya, aku ingin kamu bisa terus membersamai Shanum dan ... aku."

Demi Tuhan! Dadaku bergemuruh. Mendadak seluruh persendian tubuhku terasa menegang dan menghangat.

"Aku nggak ngerti." Mungkin bersikap bodoh seperti ini akan lebih menyelamatkanku, meski aku paham walau Damar bermain dengan kata-kata.

"Aku minta kamu izinkan aku bertemu orang tuamu."

Kutarik tanganku dari genggamannya, tetapi Damar tak mengizinkan.

"Mungkin kamu nggak percaya, tapi aku nggak pernah seserius ini."

Between Us -- Lebih Cepat Ada Di KBM App/ Sudah Terbit E-booknya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang