Aku tidak tahu jika ucapan, 'Azlian bakal ikut.' benar-benar serius. Ketika aku dan Wijaya selesai menghambur-hamburkan uang berkedok healing di pusat perbelanjaan, Wijaya langsung memasang panduan maps menuju gerbang tol. Padahal biasanya kalau kami sedang jalan bersama, Wijaya setidaknya akan bertanya satu kali padaku seperti,
'Kau mau langsung pulang atau mau singgah lagi?'
Atau ...
'Kau mau ke mana lagi?'
Kali ini tidak ada. Bahkan ketika kubilang singgah sebentar di petshop untuk membeli makanan kucing dan kalung baru untuk kucing bunda, Wijaya menolak. Bisa nanti katanya. Padahal dia itu aslinya malasan jika sudah di Medan. Jangankan sudi menemaniku ke petshop, belanja ke warung saja dia malas meski bunda yang menyuruh. '
"Kenapa sih, Bang? Singgah bentar aja loh aku," kataku kesal melihat bagaimana Wijaya begitu fokus dengan jalanan. "Bentar aja sumpah! Aku nanti malas keluar lagi kalau udah di rumah."
"Sama."
"Ya makanya singgah bentar lohhh, Bang. Parah kali."
"Kawanku udah sampe di bandara. Nggak keburu, Yi. Nanti ajalah jalan pulang. Ini kita ke Kualanamu dulu jemput orang itu."
Aku mendadak was-was. "Orang itu siapa?!" Kurasa nada suaraku sedikit naik ketika menyerukan dua kata tersebut.
"Kawan akulah. Azlian, selingkuhan kau."
"Mulut kau ya, Wijay. Bagus-bagus aja. Macam nggak pernah ngucap bismillah." Aku merutuk dan meraup mulutnya sebentar karena geram mendengar ucapannya. Mulut manusia satu ini memang terkadang kurang ajaran dan selalu memancingku untuk memaki sang empunya dengan kesadaran penuh. "Manada aku selingkuh sama dia. Sempatlah kau ngomong kek gitu ke Bang Rishi, awas aja."
"Yahh ... udah kukasih tahu pulak sama Abang itu. Kek mana itu, Ay?"
Ingin sekali kubilang, sialan pada mulut Wijaya. Aku rasanya sudah mau menangis karena terus diroasting olehnya selama beberapa hari ini. Lagipula siapa yang tahan dikata-katai oleh abang sendiri? Tidak ada. Begitu pula juga denganku. Akhirnya, untuk membatasi kemarahanku, aku memilih untuk diam selama perjalanan menuju bandara Kualanamu.
Bagaimana ya, aku menjelaskannya? Harus bagaimana lagi aku menjelaskan kepada abangku tercinta a.k.a Wijaya yang sok tahu itu bahwa aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Azlian? Demi matahari yang lagi terik-teriknya, kami bahkan hanya keluar makan tengah malam karena iseng dan juga pergi breakfast bersama lantaran bosan dengan suasana apartemen. Aku diajak oleh Azlian yang notabene baru dirundung duka. Rasanya jahat sekali jika aku menolak ajakannya di saat dia merupakan sahabat baik abangku sendiri. Akan tetapi, sebenarnya aku bisa menolak dengan alasan kami tidak sedekat itu untuk pergi makan bersama.
Tunggu... sepertinya ada yang salah.
Aku bisa menolak?
Jika melupakan fakta bahwa Azlian baru saja berduka, sebenarnya aku bisa menolak sebab kami tidak pernah kenal langsung sebelumnya dan menurutku terlalu aneh jika aku langsung menerima ajakannya tersebut. Kami tidak sedekat itu untuk berada di dalam mobil yang sama.
Aily ... apa yang sedang kau pikirkan?
Apakah menerima ajakan random makan bersama itu salah?
"Kau bilang nggak tertarik sama Azlian, kan?"
Aku menganggap, aku tidak mendengar suara Wijaya. Suasana hatiku sudah terlalu mendung untuk menanggapi sindirannya dan kemungkinan besar aku akan menangis jika Wijaya tidak berhenti kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirayakan 1.900km
FanfictionSemuanya sudah sesuai tempat dan porsinya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja mungkin Aily yang gila karena menganggap semuanya tidak seharusnya ada di sana.