Pukul dua belas malam dan mataku menolak untuk terpejam. Dengan sebungkus keripik kentang, aku kembali melanjutkan menonton serial ke episode berikutnya. Tidak tahu kapan aku akan mematikan televisi, karena rasanya nanggung untuk berhenti sekarang. Pekikanku tertahan ketika melihat adegan pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu pemain dengan cara menusuk perut rekannya berkali-kali hingga menimbulkan suara yang membuat kupingku ngilu mendengarnya.
Keripik kentang yang hendak kugigit urung dan masih tertahan di bibir ketika adegan demi adegan ditayangkan. Kemudian ketika salah seorang pemain melemparkan kapak dan mengenai rekannya yang lain, aku tidak lagi menahan teriakan. Aku berteriak kuat bersamaan dengan sebuah tepukan di pundak yang justru membuat suaraku semakin kuat.
Astaga ... astaga. Itu siap ...
"Abang!" seruku refleks ketika melihat sosok Azlian sudah berdiri di belakang sofa dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. "Astaga, Bang Azli. Aku kagettt," ujarku kemudian sambil menyentuh dadaku sendiri dan di sana jantungku berdetak dengan sangat cepat.
Hei, ini bukan cintaa. Aku nyaris kena serangan jantung karena tepukan di pundakku tadi.
"Kaget beneran kamu?"
"YAIYALAH!" Oh Tuhan. Jariku bahkan tremor dan Azlian masih sesantai itu. Dia tidak merasa bersalah atau gimana? "Aku nyaris mati, Bang. Astagaa."
"Sori ... sori. Aku ambil air minum sebentar di dapur. Sori ya." Dan dia buru-buru pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air dalam waktu cepat. "Sori ya, Ay. Minum dulu," katanya mengambil kedua tanganku dan meletakkan gelas tersebut di kedua tanganku, memaksa tanganku memeluk gelas tersebut.
Dengan deru napas dan detak jantung yang tidak kunjung normal, aku meminum air yang diberikan Azlian dan kembali dibuat terhenyak ketika dia meletakkan kedua tangannya di pundakku, kemudian memaksaku untuk duduk di sofa. "Minum itu duduk," katanya kemudian menghempaskan tubuh di sebelahku dengan santai. "Serial apa ini? Pembunuhan?"
Aku masih melirik Azlian sedikit ... kesal? Namun, setelahnya aku buru-buru beralih sebelum ketahuan memandangi wajahnya. Dia ... ganteng sih. Terlebih dengan celana training dan kaus hitam yang dikenakannya tengah malam ini. Rambutnya tampak berantakan dengan kacamata yang membingkai sepasang matanya yang tajam.
Tidak ada yang berbicara di antara kami berdua. Aku sibuk menghayati adegan demi adegan yang ditayangkan dan terpaksa menahan pekikan ketika adegan pembunuhan kembali terlihat di layar. Jika bukan karena dirundung rasa penasaran akan akhir dari serial ini, aku mungkin sudah memilih untuk tidur sejak tadi. Ketika cerita yang disajikan semakin membuatku tenggelam dalam rasa takut, tiba-tiba saja tersaji adegan yang menyedihkan. Kurasakan mataku mulai berair dan mungkin sebentar lagi akan menangis. Ketika pemain-pemain dalam serial tersebut mulai berteriak dan menangis, menolak untuk berpisah dengan kematian, aku resmi melunturkan rasa maluku dan menahan tangisan.
Ada Azlian. Aku terus membatin seperti itu dan otakku melarang untuk menunjukkan emosi secara terang-terangan hanya karena sebuah serial drama. Ketika adegan pemeran utama perempuannya mulai terisak dan memberontak dalam pelukan, suara tangisku keluar. Astaga.
"Jangan mati dong." Aku bergumam dan kudengar suaraku gemetar. Aily, kendalikan emosimu. Jangan sampai menyesal. Tolong.
Tapi ... aku tidak bisa. Scene yang tersaji di layar menyayat hati kecilku. Ah, sepertinya aku mulai berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirayakan 1.900km
FanficSemuanya sudah sesuai tempat dan porsinya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja mungkin Aily yang gila karena menganggap semuanya tidak seharusnya ada di sana.