Setelah liburan, maka terbitlah apa? Ya, benar. Laporan.
Alih-alih bersantai di rumah dan mempersiapkan diri untuk liburan panjang bagian dua bersama Wijaya dan bunda, aku justru harus melalang buana ke daerah Belawan demi bimbingan laporan yang terus kutunda. Awalnya aku sudah minta tolong pada Wijaya agar dia mengantarku ke Belawan sana, karena lewat jalan tol juga tidak terlalu lama. Meski ogah-ogahan, abangku itu oke untuk mengantarku bimbingan ke sana dengan syarat laporanku harus siap dalam waktu dua minggu. Bayangkan, dua minggu! Tapi, tidak apa-apa. Dua minggu kemudian juga Wijaya suda berada di Jakarta lagi dan dia pasti tidak akan tahu. Mungkin tidak ingat lagi.
Jadi, kusetujui syaratnya yang nyaris mustahil tersebut. Aku pun bersiap-siap segera dengan laporan Bab 1 sampai bab 3 yang sudah kuprint out, pulpen tinta merah—karena pembimbingku lebih suka merevisi dengan tinta merah menyala—dan yang tidak boleh ketinggalan adalah buku panduan yang isinya nyaris kuhafal karena terlalu sering kubaca tanpa kuikuti.
Bodoh memang.
Semua amunisi sudah kubawa dan aku siap melihat laporanku dicoret-coret oleh ibu Rischki selaku dosen pembimbingku tercinta yang kalau lagi badmood, semua laporan bahkan panduan akan salah di matanya. Memang nasibku kali dapat dosen pembimbing yang baik budi mengikuti suasana hati.
"Bunda, adek pergi dulu, ya? Doakan langsung acc," pamitku pada bunda yang sedang memasak di dapur. Uh, rasanya aku lebih baik membantu bunda memasak seharian di dapur dibandingka harus pergi ke Belawan sana. Ujung ke ujung masalahnya. Lewat tol mengantuk. Tapi kalau tidak, taruhan nyawa melewati truk-truk tronton di sepanjang jalan.
"Malas bimbingan kok ngarep langsung acc sih, Dek? Dikuatin usahanya biar hasilnya mantep juga. Bunda doakan mentalmu aman."
"Aamiiin, Ya Allah. Doa Ibu biasanya pake jalur alternatif," selorohku dan buru-buru mencium singkat pipi bunda ketika melihat Wijaya sudah mendelikan mata, menandakan aku disuruh cepat. Dia sebenarnya malas kali mengantarku ke Belawan sana. Tapi, salah dia juga tidak mau memberikan kunci mobil padaku. Bahaya katanya melepasku. Wijaya tidak tahu saja kalau kemana-mana, aku selalu pakai mobilnya.
Kami berangkat menuju Belawan lewat jalan tol Bandar Selamat. Tadinya Wijaya mau lewat jalan raya, karena katanya dia serindu itu berkendara di kota ini. Namun, aku tidak bisa membiarkan Wijaya mendapatkan keinginannya. Saat ini, hal terpenting adalah segera tiba di rumah dosen pembimbingku. Mengenai keinginan Wijaya itu bisa urusan belakangan, bisa dilakukan saat perjalanan pulang.
Selama perjalanan lenggang menuju Belawan, aku memutar lagu-lagu yang sekiranya tidak membuat Wijaya mengantuk. Jalanan lurus dan lenggang merupakan perpaduan yang berbahaya bagi pengendara. Aku tidak munafik kalau terkadang kecepatanku dalam membawa kendaraan bisa menggila jika sudah terburu-buru dengan keadaan jalan yang begitu lenggang di jalan tol seperti ini.
"Keluar Tanjung Mulia nggak mau, Dek? Bosen kali aku lewat jalan tol kek gini. Ngantuk." Di pertengahan jalan, ketika kami mendekati gerbang tol Haji Anif, tiba-tiba Wijaya buka suara soal keberatannya untuk tetap berada di jalan tol.
"Lama loh, Bang. Macet kali jam segini."
"Ini udah libur loh, Yiiii. Semua orang udah ke Perapat sana. Sisanya aja ini di Medan. Keluar Mabar, ya? Dikit lagi loh itu."
Aku menatap Wijaya dengan malas. Dia itu mikir atau tidak? "Bang, ini kau tinggal lurus aja sampek loh kita. Kau keluar di Mabar, habis itu setengah jam tepaok kita di jalan. Kalau enggak, sini, aku yang bawa aja." Memang berisik kali mulut abangku yang satu ini. Perkara jalan tol yang lurus dan lenggang, sanggup kali dia keluar di gerbang tol mabar. Padahal kalau injak pedal gas sedikit lagi, kami akan tiba di gerbang tol Belawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirayakan 1.900km
FanfictionSemuanya sudah sesuai tempat dan porsinya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja mungkin Aily yang gila karena menganggap semuanya tidak seharusnya ada di sana.