Ketika Wijaya bilang bahwa operasi yang dijalani oleh Rishi sudah selesai, kupikir setelahnya aku akan menerima kabar baik dari Echa. Namun sepertinya, itu hanya harapanku saja. Aku legah terlalu cepat tanpa memastikan keadaan Rishi yang sebenarnya. Maka ketika Echa menghubungiku lewat panggilan video usai aku kembali dari Tomok, aku sudah nyaris senang akan mendengar kabar baik tentang Rishi. Akan tetapi, wajah sembab Echa menjelaskan lebih banyak tentang keadaan Rishi. Aku mengurungkan niatku untuk bertanya, memberikan waktu bagi Echa untuk menangis. Kurasa, keadaan Rishi tidak sebaik yang kuharapkan pascaoperasi, mendengar bagaimana kuatnya tangisan Echa.
Suara tangisan Echa membuatku perlahan membuatku ikut menangis, terlebih ketika Echa memperlihatkan sosok Rishi yang terbaring di ranjang ruang perawatan intensif dengan selang dan alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Tangisku kuat melihat bagaimana buruknya keadaan Rishi saat ini. Kami sudah lama tidak berkomunikasi sejak perpisahan tidak mengenakan di bandara. Aku sudah lama tidak mendengar suaranya, melihat wajahnya, dan sekarang, Tuhan membuatku melihatnya dengan cara seperti ini. Sakit sekali rasanya melihat sosok yang biasanya begitu berwarna untukku, menjadi sosok yang lemah di atas ranjang itu.
Rishi terlalu bersinar untuk terbaring di sana. Dia seharusnya duduk di flight deck dengan pemandangan langit kesukaannya, menjalani hari-hari yang selalu disukainya, dan juga seragam PDH yang begitu pas dipakainya. Bagaimana jika kejadian ini membuatnya kehilangan semua yang sudah diusahakannya selama ini? Terlebih Rishi melepaskan Ratih untuk berada di posisinya yang sekarang. Terlalu banyak yang sudah dia lepaskan untuk mimpinya dan rasanya tidak adil jika Rishi akan kehilangan semuanya karena kejadian ini.
"Sakit kali dadaku lihat dia kek gini, Yi. Bang Rishi itu jarang sakit. Tapi, kenapa sekali sakit kek gini? Aku nggak ada siapa-siapa lagi loh. Kalau dia kenapa-kenapa, aku gimana, Yi?"
Aku seharusnya menyangkal ucapan Echa. Seharusnya kumarahi dia karena bicara sembarangan seperti itu. Namun, aku justru tak bisa membantah.
"Benci kali aku sama si Ratih. Kenapa nggak dia aja yang di ruangan ini? Setiap dia jumpa sama Abangku lagi, Bang Rishi selalu aja kena sial. Jijik aku lihat dia."
"Kak Ratih nggak papa, Cha?"
"Dia nggak papa. Nggak adil kan, Yi?"
Echa benar, itu tidak adil. Bukannya aku jahat dengan mengatakan itu tidak adil. Hanya saja, keadaan Rishi seburuk itu, tetapi Ratih baik-baik saja di saat mereka berada di dalam satu mobil yang sama.
"Aily?"
Aku buru-buru mengusap wajahku ketika namaku dipanggil dan baru kusadari bahwa panggilan video dari Echa sudah berakhir bermenit-menit yang lalu. Air mataku kembali luruh ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu kamar. Bukan Wijaya, melainkan Azlian yang kurasa selalu mendapati sisi menyedihkan dalam diriku. Cepat kuseka pipiku dan mengalihkan pandangan sebelum Azlian melihat lebih lama lagi. Sudah kubilang, kan? Aku menjelma menjadi sosok yang mudah menangis sejak mendengar kabar kecelakaan Rishi. Ingin kutahan, tapi tidak bisa.
"Abang ada perlu samaku?" Sambil membersihkan wajahku dengan tissue, aku mendekati Azlian yang masih berdiri di ambang pintu tanpa bersuara. "Aku capek kali, Bang. Mau istirahat." Lebih tepatnya aku butuh ruang untuk menangis dan Azlian seakan tidak memberikanku kesempatan untuk menangis terlalu lama sejak dia berkeliaran di sekitarku beberapa hari ini.
"Yang lain mau main jetski. Wijaya nyuruh aku nanya, kamu mau ikut atau enggak? Tapi, aku udah dapat jawabannya," katanya.
"Abang mau pergi?"
"Aku baru dapat calling dan ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan. Jadi kayaknya ... nggak ikut."
"Oh oke." Aku tidak tahu harus bicara apalagi agar keadaannya tidak secanggung ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirayakan 1.900km
Fiksi PenggemarSemuanya sudah sesuai tempat dan porsinya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja mungkin Aily yang gila karena menganggap semuanya tidak seharusnya ada di sana.