Aku menjelma menjadi manusia paling mudah menangis sejak mendengar kabar kecelakaan Rishi dan Ratih. Perjalanan liburan yang terpaksa tetap harus kuikuti—karena bunda tidak mengizinkan untukku tetap tinggal—sambil berusaha menahan untuk tidak menangis. Namun, setiap kali aku mencari tahu kabar tentang keadaan Rishi melalui Instagram teman-temannya, aku selalu saja menangis. Tidak ada kabar apapun yang kudapati. Ketika mobil yang dikendarai oleh Azlian—sebab Wijaya tidak cukup waras untuk membawa mobil untuk saat ini—berhenti di rest area km 65A, aku menolak untuk keluar dari mobil ketika bunda mengajak untuk membeli minuman di minimarket. Mendadak, aku tidak nafsu untuk makan apapun. Ketika semua orang yang berada di mobil—Azlian, Wijaya, dan Bunda—keluar untuk menyelesaikan urusan mereka di luar sana, aku memilih untuk mengirimkan pesan kepada Echa untuk menanyakan soal perkembangan keadaan Rishi. Akan tetapi, beberapa pesan yang sejak tadi kukirimkan masih centang satu, yang memandakan bahwa Echa belum menyalakan data selulernya.
Terdiam sejenak, merasa bahwa baik Echa ataupun Rishi, keduanya sama saja. Sama-sama senang sekali menghilang tanpa kabar dan membuatku khawatir. Aku memejamkan mata ketika pening mulai menyerang. Terkadang, menangis terlalu lama tidak baik untukku. Efek yang kurasakan setelahnya selalu membuatku kesakitan sendiri.
Ketika mataku masih terpejam, kudengar suara pintu dibuka, dan kurasakan seseorang mengisi kekosongan di sebelahku. Kubuka mata untuk melihat siapa orang yang baru masuk dengan membawa aroma mie cup— yang biasanya kerap kali kunikmati setiap kali perjalanan jauh— dan kudapati bahwa orang itu adalah Azlian. Wajahnya tampak segar dengan rambut depannya yang tampak basah. Mau kubilang bahwa dia seperti habis melaksanakan duhanya tidak mungkin. Kalung salib yang dikenakannya sudah membuatku sadar lebih dulu.
"Bunda sama Wijay mana, Bang?" Keningku mengerut mendengar suaraku sendiri. Kenapa suaraku lemas sekali seperti orang yang sedang sakit parah?
"Masih duha. Kamu nggak makan? Tadi sebelum berangkat, kamu nggak makan apa-apa." Azlian menawarkan sambil mengulurkan mie cup-nya padaku yang kujawab dengan gelengan kepala. Kupikir dia sangat menyukai mie instan mengingat dia baru makan makanan itu malam tadi saat duduk di pelataran minimarket. "Nanti asam lambungmu naik, Aily. Lagi mau makan apa?"
Lagi lagi, Azlian tahu bahwa aku memiliki penyakit asam lambung. Dari mana lagi dia tahu soal itu? Wijaya? Apakah abangku itu memang rajin sekali menceritakan semua tentangku kepada teman-teman tongkrongannya? Namun, untuk saat ini, aku tidak memiliki cukup tenaga untuk mempertanyakan hal tersebut ke Azlian.
"Apalagi yang Abang tahu soalku? Selain kamera, akun keduaku, dan asam lambungku?" Ini semakin menyebalkan. Berada di dekat Azlian sangat menyebalkan bagiku. Kami baru saling kenal, tetapi dia tahu banyak hal yang orang lain tidak mengetahuinya.
"Semua yang kamu bagi di akun keduamu, mungkin? Mimpi kamu sebagai arsitek yang harus kamu lupakan karena waktu itu—" Aku reflex langsung buru-buru menutup mulutnya dengan tanganku sebelum dia membocorkannya lebih jauh. Astaga. Kurasa, Azlian memang sudah lama mengikuti akun keduaku.
"Bang," Aku deg-degan, nyaris sesak napas. Mengetahui alasan mengapa aku meninggalkan mimpiku untuk menjadi arsitek itu tandanya, dia mengetahui nyaris semua hari-hari burukku setelahnya. "Nggak lucu. Nggak lucu Abang tahu soal semuanya," kataku serius menatap matanya yang juga menatapku. Mulutnya masih kubungkam dengan tanganku, mencegah dia berbicara lebih banyak tentang hal lain. Bungkaman baru kulepaskan ketika dia mengangkat satu tangannya ke atas, seperti mengisyaratkan penyerahan.
"Kalau yang kamu takutkan adalah cerita-ceritamu di akun kedua itu Abang kasih tahu ke Wijaya, kamu nggak perlu takut. Abang nggak secepu itu, Ay." Lalu, tanpa aba-aba, dia mendekatkan mie cup ke dekat mulutku dan mengulurkan garpu yang sudah melilit mie ke dekat mulutku. "Makan. Liburan hanya untuk minum obat itu nggak lucu, Aily."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirayakan 1.900km
FanfictionSemuanya sudah sesuai tempat dan porsinya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja mungkin Aily yang gila karena menganggap semuanya tidak seharusnya ada di sana.