07. Resah

425 87 21
                                        

"Jika masa lalunya datang, akankah aku tetap jadi pemenang?"-

**

Aku mengenal Rishi sudah lama, jauh sebelum aku menyukainya. Mungkin saat aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak, wajah remaja Rishi samar-samar masih kuingat. Ketika dia sering main ke rumah untuk mencari Wijaya, tak jarang dia akan menyapaku dengan nada khas anak-anak yang kala itu membuatku selalu merasa senang bukan main karena merasa memiliki teman dekat.

"Ayii!" Dia memanggilku dari depan pintu sambil melambaikan tangan. Bahkan ketika pintu belum dibuka oleh bunda, dia sudah lebih dulu masuk dengan santainya dan memberikan sebungkus coklat yang diambil dari saku celana trainingnya. "Buat kamu," katanya kemudian.

Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa Rishi tidak pernah berbicara layaknya kebanyakan orang Medan berbicara. Dia tidak pernah menggunakan suara kuat atau kata-kata yang terdengar kasar dan sembarang. Alih-alih mengatakan 'kau', dia lebih memilih menggunakan sapaan 'kamu' yang sebenarnya tidak pernah digunakan di kota kelahiranku. 

Awalnya, aku bertanya-tanya tentang mengapa Rishi berbeda dari saudaranya yang lain? Bahkan kedua orang tuanya berbicara sebagaimana kebanyakan orang Medan berbicara, Echa sang adik sekalipun. Hingga kemudian aku menemukan jawaban akan pertanyaanku tersebut secara tidak sengaja. 

Saat itu hari perayaan ulang tahun Rishi yang ke-17. Rishi tidak mengadakan pesta ulang tahun sweet seventeen-nya secara besar-besaran. Bu Risha, mama Rishi, saat itu hanya mengundang anak-anak remaja dan anak kecil  (termasuk aku) dan juga teman-teman sekelas Rishi. Aku hadir siang itu ditemani oleh Wijaya yang hanya mengincar hidangan makan siang karena kebetulan bunda tidak masak dari pagi dan dia enggan untuk beli makan di luar (takut uangnya habis katanya). Suasana perayaan hari itu meriah dengan tema yang sangat ramah akan anak-anak. Aku duduk di salah satu kursi dengan Wijaya yang sedang minum di sebelahku. Acara belum dimulai dan dia sudah makan!

Setelah menunggu sekitar belasan menit, si pemilik acara akhirnya tiba. Rishi tidak sendiri. Ada perempuan yang berjalan di sampingnya. Kakak itu cantik. Wajahnya manis, seperti wajah bukan khas Sumatera.

Kek mana pula wajah yang bukan khas Sumatera sih, Aily? Aneh-aneh aja kau makinan.

Intinya seperti itulah.

Kakak yang kutahu bernama Ayu Ratih Senara Dewi itu memang bukan berasal dari Sumatera. Dia berasal dari pulau Jawa dan pindah ke Sumatera sejak di bangku SD. Aku tahu darimana? Dari curi-curi dengar dan cerita singkat Wijaya. Intinya Rishi dan Ratih sudah dekat dari kecil kalau kata bu Risha dan cara bicara Rishi juga lambat laun mengikuti Ratih yang memang memiliki tutur kata lemah lembut seperti gadis Jawa pada umumnya.

Aku sebenarnya Jawa juga. Cuma karena besar di Sumatera, Jawaku menjelma seperti orang Batak yang terkenal keras suaranya dan jarang bicara mendayu-dayu.

Intinya, Rishi pacaran sama Ratih. Itulah intinya. Intinya juga, aku sakit hati. Anak kecil yang belum tahu apa-apa kayak aku ini, tiba-tiba merasa sakit hati. Padahal saat itu, aku tahu pasti kalau aku belum suka sama Rishi. Dia dulu masih biasa aja di mataku. 

Saat usiaku menginjak 14 tahun dan Rishi pulang ke Medan untuk pertama kalinya setelah berangkat ke Jakarta demi pendidikan, aku tahu bahwa hari itu aku resmi menyukainya yang lewat di depan rumah dengan kaus putih, celana cargo, dan sandal gunung sambil menarik handle koper kecill miliknya. Kukira dia akan lupa. Tapi, aku justru terlalu khawatir akan hal tersebut.

"Aily!"

Rishi tidak lupa. Dia menyapaku seantusias saat aku masih kecil dulu.

Hari itu, aku tahu dari Wijaya kalau hubungan Rishi dan Ratih sudah selesai. Keduanya berangkat bersama ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI). Namun, tidak lama setelahnya, hubungan keduanya selesai. 

Dirayakan 1.900kmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang