Mini Mahendra, 28 tahun memiliki pengalaman kerja sebagai karyawan outsourcing di Bali Bir. Terbuka dengan pengalaman baru dan mau belajar serta mampu bekerja di bawah tekanan. Begitu kira-kira Mini menulis biografi untuk surat lamaran kerja. Ia berencana untuk melamar kerja di perusahaan baru. Mini mengetiknya dengan menggunakan komputer kantor dan wifi yang dibayarkan setiap bulan untuk memenuhi fasilitas kantor. Iya, kantor tempatnya bekerja sekarang. Hal yang lumrah jika menggunakan fasilitas kantor tempat bekerja untuk mencari pekerjaan baru di tempat lain.
Mini duduk di depan komputer sambil membenahi curriculum vitae. Tetikus ia gerakkan menuju kolom pengalaman kerja. Ia berkutat bersama kepalanya sendiri. Kadang ia bertanya apa yang harus ditambahkan lagi. Dan saat ingat harus menambahkan apa, Mini akan menambahkan goblok di akhir. Sebab ia kesal karena hampir melewatkan pengalaman penting. Mini dan isi kepalanya seperti dua orang yang berbeda dan sedang berbicara melalui sudut pandang yang berlawanan.
"Kau lupa menambahkan proyek,"
Ah benar goblok, pikir Mini. Ia lupa menambahkan proyek yang pernah dibuatnya di Universitas dulu. Tidak sombong dan tidak belagu Mini sangat bangga dengan proyek Program Kreativitas Mahasiswanya. Ia ingat pernah mengembangkan program belajar Bahasa Inggris melalui kartu bermain. Mini mulai mengetik proyek tersebut. Saking semangat jemarinya menekan keyboard, beberapa kata ada yang salah tulis atau salah eja.
"Melalui bukan melulai, kau pikir tubuh yang gemulai?"
Mini lalu menghapusnya dan membenahi tulisannya. Ia mengangguk lalu mengetik lagi. Tapi siapa orang yang berbicara. Iya yakin suara hatinya tidak secempreng itu. Terlebih apakah suara hati harus terdengar sekeras itu ditelinganya?
Mini lalu menoleh ke arah belakang. Senyuman lebar dengan kawat pagar sedang menahan gigi perempuan itu. Terlebih kawat itu berwarna kuning nyentrik. Mini selalu heran kenapa Bu Ani menambahkan kawat pada giginya, padahal tanpa kawat gigi sebelumnya, ia terlihat sangat cantik. Memang benar, lagi-lagi bagian dari kecantikan. Kawat gigi telah menjadi tren belakangan ini. Baiklah bukan saatnya memikirkan itu hal yang penting sekarang adalah Bu Ani di depannya.
"Bu Ani," Mini tersentak dan bangun.
Bibir Bu Ani semakin lebar, senyumannya lebih seram dari boneka chucky.
"Kau lupa menambahkan proyek"
Bu Ani melemparkan map berwarna kuning ke arahnya. Mini lalu menangkapnya. Ia menutup kedua matanya bukan karena takut atau merasa bersalah. Tetapi karena Bu Ani yang berusaha mendekatinya. Ia tersenyum dengan lebar dan menggeleng.
"Benar kau tidak bisa menambahkan proyek selanjutnya karena kau dipecat,"
Hawa yang keluar dari mulut Bu Ani lebih keras daripada angin topan manapun. Hawa itu membuat jiwa Nini keluar sekilas persis seperti saat Ancient One meninju Doctor Strange. Namun saat ini yang meninju Mini sebenarnya mungkin bukan hawa Bu Ani, bukan juga Ancient One tapi anxiety. Manusia normal mana yang tidak akan cemas jika mendengar kata dipecat. Mencari pekerjaan tidak semudah mencabut uban nenek. Dan Mini harus kehilangan pekerjaannya, bahkan saat ia belum mendapatkan pekerjaan baru. Bukan, lebih cemas lagi bahkan saat curriculum vitae miliknya belum selesai.
"Tapi ibu,"
Bu Ani tidak mau mendengarkan penjelasan Mini. Ia membanting pintu di depannya.
Begitulah kira-kira awal dari perjalanan pengangguran Mini diusia 28 tahunnya. Ia kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki pacar yang akan menghiburnya. Mini menaikkan kakinya ke atas kursi yang ada di depannya. Ia duduk di minimarket 24 jam. Sejak hari ia resmi menjadi pengangguran, Mini tidak mau kuar pagi-pagi. Soalnya akan terlihat jelas jika ia seorang pengangguran. Padahal tidak akan ada yang melihatnya karena teman-temannya sibuk bekerja... Hmm.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is Like A Monkey
Teen Fiction"kalau kamu kalah, kamu harus kencan denganku!" -Leo 2014 Hidup sebagai seorang minim pencapaian dan masih menjomblo di usia 28 tahun membuat Mini menjalani hari sebagai pecundang. Hingga suatu malam Mini bermimpi aneh lalu terlempar lagi ke masa la...