05

670 39 0
                                    

Nathan saat ini berdiri di depan rumah Naren dengan nafas ngos-ngos an, ia berhasil melarikan diri. Mahen memaksanya ke psikolog, tentu ia menolak.

Ada satu mobil asing di halaman rumah ini, ada tamu?  Atau keluarga naren?

"Permisi pak." Nathan menyapa satpam yang berjaga.

Laki laki berumur menyambut baik. "Ada keperluan apa nak?"

"Saya temannya naren, dia nya ada pak?"

Entah apa yang di pikirkan, laki laki berumur itu tampak ragu, setelah menimang nimang cukup lama akhirnya ia mengizinkan. "Ada, juga tuan kebetulan ada di rumah. Silahkan masuk nak."

Nathan segera memasuki gerbang tak lupa berterimakasih, motor miliknya ia biarkan di luar. Sesampainya di teras wanita yang menyambutnya malam itu muncul. Entah hanya perasaannya atau memang benar, wanita itu menatapnya tidak ramah.

"Ada keperluan apa? Biar ku sampaikan ke Naren."

Nada bicaranya sinis sekali, tak jauh dari tatapannya. Berusaha abai, ia menjawab. "Saya ingin bicara langsung bi."

Wanita itu semakin sengit. "Naren lagi gak bisa di ganggu." Tegasnya.

Bahkan pembantu itu memanggil anak majikannya sesuka hati, sangat berbeda di pertemuan pertama mereka.

"Ada siapa, bi?" Suara berat terdengar. Wanita yang awalnya semena mena itu menciut, memposisikan diri sebaik mungkin. Tak lama seorang pria muncul, tubuhnya tegap di baluti setelan jas. Nathan membungkuk sebagai bentuk sapaan. Pria itu menatapnya sekilas.

"Temannya den Naren, tuan."

"Oh, jadi dia?"

"Benar tuan, saya sudah menyampaikan kalau den Naren sedang tidak bisa di temui, tapi dia tetap keukuh."

Situasi macam apa ini? Nathan merasa tak nyaman. Dirinya menjadi objek pembicaraan mereka seakan akan ia adalah pelaku perbuatan keji yang akan di penjara. Ataukah perbutannya malam itu memang sudah di ketahui?

"Naren sedang ti---"

"Biarkan dia masuk Daddy." Suara naren memotong pembicaraan. Anak itu muncul dari balik postur tubuh pria tegap tadi dengan tubuh di baluti kimono, rambutnya masih basah. Jelas baru selesai mandi.

Pria itu hendak memprotes, tapi naren segera angkat suara lagi.

"Ayolah Dad, aku tidak akan macam macam. Hanya bicara, kalo Daddy ga percaya, bi Nira boleh ikut."

Menghembuskan nafas. "Bi, tolong awasi mereka." Ujar pria itu. Setelahnya ia keluar dari rumah. Ada kepentingan yang harus segera di selesaikan.

Nathan masih bergeming, netranya fokus menatap tubuh putih naren yang di baluti kimono. Tidak, jangan berfikir aneh aneh. Nathan hanya baru menyadari, banyak cupang merah di leher hingga telinga naren. Tak mungkin itu karenanya, hampir seminggu berlalu. Cupang miliknya tak mungkin bertahan selama itu.

Naren menyadari. "Akan ku jelaskan, ayo ke kamarku." Ucapnya tenang.

Nathan seperti menghadapi dua orang yang berbeda. Bukan naren yang lugu dan memohon untuk di puaskan. Naren yang ini tampak sangat tenang dan dewasa. Tidak ada senyuman polos di wajahnya, hanya wajah tanpa ekspreksi tapi agak menenangkan.

"Kenapa harus di kamar?" Tentu ia trauma.

Naren menatap nathan heran. "Tenang saja, kemarin hanya kecelakaan, ada orang iseng yang ngasih perangsang di minuman kita." Naren mengucapkannya sambil menatap bi nira yang tampak jengkel. Sindiran keras. Tapi wanita itu tak peduli.

Nathan kini mengerti alasan malam itu terasa panas, juga tubuhnya yang haus akan sentuhan. Tapi bukan itu yang mencuri perhatiannya. Tapi-

"hanya kecelakan."

Kecelakan ya? Nathan tersenyum miris, entah mengapa ia merasa kecewa.

Kini nathan duduk di tepi ranjang yang menjadi saksi pergulatan mereka, sprainya telah di ganti, tapi suasana di kamar masih sama. Hangat.

Di belakangnya naren bersandar di lemari pakaian sembari bersedekap dada, menatap nathan yang tampak duduk kaku di ranjang. Lucu sekali. Bi Nira menolak masuk ke kamar, wanita itu memilih pergi ke kamarnya sendiri dari pada melakukan perintah yang tuannya berikan.

"Kenapa cuma diam? Cepat ganti baju." Nathan tentu menyadari adik kelasnya sedari tadi hanya diam menatapnya.

Naren terkekeh kecil. Melangkah mendekat hingga berdiri tepat di depan nathan "Apa tubuhku seburuk itu sampe kak nathan jijik lihatnya?" Tanyanya saat nathan mengalihkan pandangan. "Kita bicara lewat telfon saja kalau begitu."

"Bukan gitu." Nathan reflek menjawab tanpa menoleh.

Naren itu sempurna di matanya.

Kulitnya putih bersih, halus dan kenyal. Proposi tubuhnya sangat pas, bibir tipisnya sehat, bola matanya coklat terang, rambutnya sangat halus. Nathan masih mengingat jelas setiap detail bentuk tubuhnya. Sangat cantik mengalahkan wanita wanita di luar sana.

Sesempurna itu.

"Terus kenapa? Bukannya kakak udah liat aku telanjang?" Mulut Naren benar benar frontal. Jari kecilnya memegang dagu nathan, memaksa kepala itu menatap wajahnya.

"Atau sebenernya kakak sange liat naren?" Nathan meneguk ludah kasar. Naren tersenyum.

"Stop Ren."

"Oke." Naren memberi jarak, menarik kursi untuk di dudukinya. Kakinya ia silangkan, menatap kakak kelasnya serius. Posisi mereka berhadapan, hanya berjarak sstu meter.

Naren menurunkan handuk kimono yang menutupi tubuh bagian atasnya, seketika cupang kemerah merahan lain nampak jelas. Lebih banyak dari yang ia buat malam itu.  Hati nathan memanas, jangan bilang...

"Aku tahu kak nathan bakal jijik sama naren setelah ini, atau bahkan benci, tapi aku udah mutusin. Dan kakak berhak tau."

"Ini hasil perbuatan Daddy, pria yang kakak lihat tadi."

***

Jika di simpulkan penjelasan naren kurang lebih seperti ini:

Sejak kepergian ibunya yang entah kemana, naren di paksa berhenti muncul di dunia enteirtement. Ia di sekolahkan di sekolah umum, tanpa di beri  keistimewaan khusus.

Ayahnya juga menghilang, mencari ketenangan. Naren harus menjalani kehidupan beratnya seorang diri. Tiga bulan setelahnya ayahnya pulang, tapi naren punya kecurigaan.

Dan benar saja, malamnya pria itu memperkosa naren. Memaksanya memanggil dia dengan sebutan Daddy. Laki laki itu jelas bukan ayahnya.

"Ayahmu udah gak peduli sama lo, Ikut sama Daddy, dan Daddy bakal bahagia in naren."

Dia kembaran sang ayah. Meski naren menolak, orang itu tetap datang ke rumah seakan akan ia adalah ayahnya. Para pekerja tak sadar saking miripnya mereka. Patuh patuh saja saat di perintah.

Marah tentu saja. Setiap pria bejat itu tertidur setelah kegiatan panas mereka, Naren selalu bersiap ingin membunuhnya, benda benda tajam tersimpan rapi di laci. Tapi tak pernah sekalipun tersampaikan.

Ujungnya ia hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Bekas luka yang di lihat nathan kala itu salah satunya.

Hampir tiga tahun ia di jadikan budak seks pamannya sendiri. Hatinya telah mati. Hidup seperti tak ada arti lagi baginya. Sekolah hanya menjadi alasan untuknya pergi dari rumah. Mungkin itu penyebab nilai nya jelek.

Bahkan pembantunya sendiri mendukung kelakuan bejat pamannya, tentu hanya untuk uang. Kemarin ia di jebak. Paman mengetahuinya, laki laki itu marah besar.

Pagi harinya pria itu segera pulang dan memberinya hukuman. Peliharaan kecilnya mulai melawan. Paman bahkan berniat pindah rumah untuk memisahkan mereka.

****

"Hei kak, apa aku boleh membunuh pamanku?"

Pertanyaan naren masih terbayang di otak nathan.

Gue normal. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang