06

491 26 5
                                    


Jika kalian berfikir nathan akan merasa jijik dan benci pada naren, kalian salah. Laki laki itu kini justru memiliki keinginan kuat untuk melindungi naren dari pamannya. Tapi bagaimana caranya? Ia sendiri tak memiliki hak.

Melapor pada polisi juga percuma, tak ada bukti kuat. Para pekerja di rumah itu tutup mulut, Naren sendiri tak ingin masalahnya di bawa ke pihak berwajib.

"Setidaknya lo ngga diem aja Ren, balik jadi aktor biar namamu kembali terkenal, nanti ayah lo bakal tau kalo lo di sini nungguin dia."

"Kenapa kakak mikir naren diem aja?" Mata coklat itu menatapnya tajam.

"Jelas kan? Kalo lo emang ngelawan, gaakan dua tahun ini--"

"Oke-oke." Potong naren. "Sekarang naren mau tanya satu hal, apa hak kakak ngatur ngatur hidup naren?"

Nathan terdiam. Satu pertanyaan yang di ucapkan dengan ringan namun efeknya luar biasa bagi nathan. Benar, siapa dirinya di hidup naren? Mengapa ia harus peduli.

Naren menarik sudut bibirnya. Beranjak dari kursi, melangkah menuju pintu.

"Gue emang baru kenal sama lo naren." Nathan berucap pelan. Naren terhenti di ambang pintu. "Tapi gue pastiin setelah ini gue bakal selalu ada di samping lo." Ucapnya yakin.

Nathan menghembuskan nafas kasar mengingat dialog terakhir mereka. Cowok itu menarik selimut hingga dada, lalu memejamkan mata. Ia harus beristirahat.

****

Pagi hariya Naren masih belum berangkat ke sekolah, ataukah adik kelasnya benar benar akan pindah? Semoga saja tidak. Nathan berusaha fokus ke pelajaran meski pikirannya kemana mana.

Hari terasa cepat berlalu. Nathan yang baru pulang dari sekolah di kejutkan oleh munculnya dua makhluk di dalam rumahnya. Siapa lagi jika bukan sepupunya si Daniel dan sahabatnya, Mahendra.

Kedua nya berdiri tepat di balik pintu saat ia datang, siapa yang tidak kaget.

"Kalian ngapain?" Nathan memang agak telat pulangnya karena memiliki suatu urusan di sekolah.

"Lo tau nath? Masa si mahen ngatain lo belok." Daniel berkata ringan sembari mengemil keripik singkong.

Mahen di sebelahnya nyengir merasa tak enak. Padahal cowok itu sudah mewanti wanti Daniel agar tutup mulut untuk sementara, emang pada dasarnya tong kosong berbunyi nyaring.

Nathan yang sudah pusing memilih abai, hanya menambah beban pikiran saja menanggapi mereka. Ia melewati kedua makhluk itu begitu saja. Dirinya butuh istirahat, lagaknya mental nathan sedang kena.

Setelah membersihkan diri ia berniat tidur sebentar, namun Mahen dan Daniel sepertinya tak membiarkan itu. Mereka berdua nyelonong masuk seenaknya, Daniel menempatkan diri di sebelah nathan. Sementara Daniel mengotak atik alat kecil dan meletakannya di atas kursi.

Proyektor.

"Dan, matiin cahaya." Titah Mahen.

"Siapp, Mahen-kun."

Daniel patuh, menutup gorden, mengunci pintu, mematikan lampu. Kini kamar nathan terasa gelap, sepupunya itu kembali duduk di sebelahnya. Tak lama kemudian film berputar. Mahen ikut bergabung di ranjang nathan.

"Sebenernya kalian pengin apa? Gue capek." Gerutu nathan. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang. Bersedekap dada.

"Nonton film biru." Bisik Daniel.

Bulu kuduk nathan setika meremang.

"Ya silahkan, gue aja yang pindah."

"Eehh enak aja." Kedua laki laki di sisinya kompak menahan tubuhnya. Akhirnya nathan pasrah.

Gue normal. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang