12 | How Could It Be?

79 8 0
                                    

"Dingin," gumam Renjun. Serpihan es itu mencair di tangannya, satu per satu saat beberapa serpihan kembali jatuh. Saat gejolak itu tak tertahan, Renjun bersin dan menutup jendela. Salju pertama turun jauh lebih awal, tidak sesuai dengan perkiraan cuaca.

Bangsal rumah sakit itu remang-remang--beberapa lampunya sengaja ia matikan. Renjun hampiri sosok yang terbaring di salah satu ranjang dan mengusap kepalanya. Pemuda yang dulunya ia benci setengah mati, dia tampak nyaman menutup matanya. Renjun menerbitkan senyumannya tanpa melibatkan mata. Hatinya tidak akan bebas selama rasa bersalah itu masih merebak.

"Bangunlah. Kau mau menebus kesalahanmu, kan?" Renjun menarik kursi di sebelah ranjang. Syal kuning di lehernya ia lepaskan, lalu ia taruh benda itu di dada bidang Jaemin yang terbalut perban. Renjun bersyukur Jaemin masih bernapas. Renjun bersyukur jantung itu masih berdetak. "Ayo kembali berkencan dan jangan mengulangi kesalahan yang sama. Aku akan memberikanmu kesempatan kedua."

Renjun mengelus perutnya. Ia menatap mata Jaemin, dipenuhi harapan bahwa mata itu akan terbuka secepat mungkin. Ia kembali membatinkan hal-hal yang tertahan di tenggorokan. Berandai-andai bahwa saat itu ia berhenti bungkam. Renjun mengingat kalimat yang diucapkan Jaemin kepadanya saat ia berada di bawah kungkungan pemuda itu, sembari mengelus perutnya.

"Ini tidak boleh diisi oleh orang yang tidak kau cintai."

Jaemin membuatnya terenyuh. Dia menyelamatkan Renjun dari 5 manusia bejat. Pemuda itu menghajar mereka, membuat tiga di antaranya babak belur. Namun, saat itu dia lalai. Jaemin melupakan dua orang lainnya. Saat tersadar, Jaemin langsung melingkupi Renjun dengan tubuhnya, memeluk Renjun seerat mungkin dan membiarkan tubuhnya dipukuli dengan balok kayu berpaku.

Apabila tidak ada Jaemin saat itu, mungkin Renjun akan menjadi pemuas nafsu yang menjijikan. Kemungkinan terburuknya, dia mati.

Renjun menentang keras bagaimana rumor-rumor sialan itu memojokkan Jaemin, membuat seolah-olah Jaemin adalah manusia paling buruk di dunia. Renjun menyesal. Jaemin tidak seburuk itu. Jaemin melindunginya, tapi semua orang seakan-akan tidak percaya.

Lee Jeno. Nama itu seketika terlintas di kepala. Jeno datang di saat yang tidak tepat, di saat hanya tersisa mereka berdua. Seonggok rasa takut menghantui Renjun apabila mengingat sosok Jeno kala itu. Jeno kehilangan kendali, berlagak tidak mendengar apa pun saat Renjun sekeras mungkin meminta untuk berhenti. Lidahnya kelu untuk menuturkan penjelasan, apalagi saat melihat Jaemin sudah di ambang kesadarannya--sejak awal. Jeno tidak melihat semuanya.

"Bangun, Na Jaemin ...."

"Apa yang tidak aku ketahui, Lee Jeno?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Apa yang tidak aku ketahui, Lee Jeno?"

Diam. Jeno ragu untuk menjawab. Dia tahu betul bahwa situasi mereka amat sensitif saat ini. Salah mengambil kata rentan akan kesalahpahaman, dan Jeno tidak mau itu terjadi karena mereka melibatkan orang ketiga.

Jeno cukup terkejut. Dia tidak menduga bahwa orang-orang itu akan menyakiti Haechan sejauh ini. Jeno sudah berusaha menutupinya dari Mark--sesuai permintaan Haechan, tetapi pemuda itu tahu dengan sendirinya.

Just About You | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang