☆ perkenalan : cowok ☆

50 8 1
                                    

Seorang remaja laki-laki asik menyesap kopinya dipagi hari sambil menatap pepohonan dan membiarkan wajahnya terkena cahaya matahari pagi yang menyehatkan.

Dia adalah Na Jaemin, remaja penyuka kopi yang membuat teman-temannya merasa disiksa jika harus mencoba kopi buatannya.

Sementara itu di dekatnya, di sebuah sofa, sebuah tubuh yang belum siap menyambut hari baru terbaring sambil menatap langit-langit, sesekali ia mengangkat bantal sofa lalu mengobrol seolah-olah memiliki lawan bicara.

Park Jisung, yang termuda di antara mereka.

"Hyung, liat jam tangan gue, ga?" teriak Chenle, si tampan berkulit putih dengan mata sipitnya, jangan lupa dia juga kaya raya.

"Itu di atas meja, gue colok ya mata, lo!" balas Renjun menunjuk jam tangan yang berada di atas meja tepat di depan Chenle.

"Hehe, ga keliatan," ucapnya lalu melangkah ke dapur.

Chenle menatap seseorang yang sangat fokus menggoreng telur, orang itu terus mengeluh setiap kali gagal membalikkan telurnya dan berakhir gosong. Namanya Mark, yang paling tua di antara mereka. Entah angin dari mana, Mark memaksa untuk memasakkan sarapan untuk adik-adiknya, yang sudah ia katakan 30 menit yang lalu.

"Hyung, gue panggil Jaemin Hyung aja, ya?" tanya Chenle menatap Mark dan telur yang sudah gosong bergantian.

Mark menghela napas, "Ide bagus, panggil sekarang," setuju Mark membuat Chenle langsung memanggil Jaemin untuk membuatkan sarapan untuk mereka.

"Nyerah lo, Hyung?" tanya Jaemin tertawa kepada Mark.

Laki-laki itu kemudian mengambil alih dapur, juga dibantu oleh Mark yang tidak ingin meninggalkan yang sebelumnya seharusnya dilakukan olehnya begitu saja. Setelah dua puluh menitan, sarapan yang sangat sederhana itu akhirnya siap di makan, apalagi kalau bukan nasi goreng dengan telur, sederhana saja yang gampang dibuat dan cepat.

Mereka berkumpul di meja makan, semuanya fokus menyantap makanan sampai Renjun tersadar dua orang lagi tidak ada di tempat. Yang lain juga tidak tahu di mana dua orang itu berada.

"Hyung," panggil Jisung namun tidak ada yang merespons. "Hyung!" panggilnya lagi.

"Apaan?" balas Renjun.

Mark, Renjun, Jaemin dan Chenle mengikuti arah tatapan Jisung yang ternyata mengarah ke arah tangga, dan di sana dua orang dengan wajah polosnya tersenyum manis ke arah mereka seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Baju keduanya penuh dengan lumpur bahkan rambut dan bagian wajah mereka juga terkena lumpur yang entah mereka dapat dari mana.

"Kalian dari mana?" tanya Mark.

"Dari luar," balas salah satunya.

"Ngebajak sawah?" tanya Renjun.

"Sembarangan, tadi di halaman rumah sempet jatuh," jawab remaja bernama Haechan yang memiliki warna kulit sedikit lebih gelap dari teman-temannya jadi sedikit mudah mengenalinya.

"Di halaman rumah gue ga ada tempat buat kotor-kotoran kayak gitu, Hyung," ucap Chenle.

"Jen, kalian dari mana?" tanya Mark pada Jeno yang hanya diam dari tadi, ia menatap Haechan dan mendapat gelengan kepala pertanda ia tidak boleh berkata yang sebenarnya namun tatapan teman-temannya sangat menakutkan, apalagi Renjun yang sebentar lagi akan mengeluarkan laser dari matanya.

"Maaf, Chan,"

"Kita dari sana, lumayan jauh sih, cuman jalan-jalan aja, kok." jelas Jeno membuat Haechan menutup matanya pasrah.

"Naik?" tanya Chenle, tidak mungkin mereka berjalan.

"Sepeda," jawab Jeno. "Tapi, ... Chan, tunjukin," suruh Jeno menyenggol tubuh Haechan.

Dengan senyum manisnya lagi Haechan mengeluarkan tangannya yang dari tadi ia sembunyikan di belakangnya, memegang sebuah stir sepeda yang sudah terpisah dari bagian lainnya.

Chenle sedikit menganga, apalagi setelah ia tahu kalau itu adalah sepeda yang baru beberapa kali ia pakai. Haechan meminta maaf berkali-kali begitu pula dengan Jeno yang ikut merasa bersalah padahal bukan salahnya, Haechan yang mengajaknya dan Haechan juga yang membuat sepeda tersebut rusak dan berakhir seperti ini.

"Ya udah, sih, gapapa," ucap Chenle santai.

"Lo ga marah?" tanya Haechan.

"Marahlah, tapi mau gimana lagi, udah rusak gitu,"

"Jadi ... ?"

"Ya, buang aja, udah ga bisa dipakai, nanti beli lagi,"

Kekaguman dari teman-temannya tidak bisa disembunyikan saat Chenle mengekspos tentang kekayaannya seperti ini, padahal itu adalah sepeda dengan harga jutaan yang selalu Chenle bangga-banggakan saat pertama kali memilikinya, mereka tahu kalau ia memang kaya, tapi apa boleh berkata sesantai itu untuk membeli yang baru? Pasti harganya akan jauh lebih mahal sekarang.

Setelah mendapat maaf dari Chenle, Haechan dan Jeno segera membersihkan diri lalu menyantap sarapan meski hanya tersisa mereka berdua.

IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang