。*♡ Mark 。*♡

18 5 1
                                    

Lautan kini tenang, gelombang ombak kecil yang datang mengenai kaki seseorang yang masih terbaring di atas pasir.

Mark.

Lalu perlahan ia membuka matanya, memegang kepalanya yang agak pusing karena tabrakan dengan air tadi. Mark melepas pelampung yang dikenakannya, menatap sekitar dan tidak melihat siapapun.

"KARINA!!! CHENLE!!!" teriak Mark memanggil nama dua orang temannya yang tadi bersamanya. Namun nihil, tak ada jawaban setelah beberapa kali memanggil.

"Chen--" teriaknya tertahan melihat sesuatu. Mark mendekat dan begitu terlihat jelas ia langsung berlari ke arahnya.

"Winter, bangun," Mark menepuk pipi gadis itu, setelah beberapa kali mencoba membangunkan Winter dengan menepuk pipinya akhirnya gadis itu sadar.

Melihat Mark ada di depannya sontak Winter memeluk laki-laki itu dengan erat, ia sangat takut kalau ia akan sendiri dan tidak akan bertemu lagi dengan teman-temannya.

"Kenapa?" tanya Mark saat Winter melihat ke kanan dan kiri dengan bingung.

"Denger, ga?" tanyanya.

"Apa?"

Winter menaikkan telunjuknya, mereka diam untuk mendengar lebih jelas. Dan samar-samar terdengar seseorang meminta pertolongan. Mark dan Winter sempat bertatapan beberapa saat lalu menuju ke sumber suara yang mereka dengar.

Mereka berjalan mendekati sebuah batu yang tersusun acak dan memiliki ukuran yang besar, dan suara itu semakin jelas di indra pendengaran mereka.

"Oppa," Winter menunjuk sesuatu, mereka mendekat.

"Eonni!" pekik Winter melihat Karina. Air matanya kembali turun, mereka saling berpelukan melepas seolah-olah tidak bertemu selama bertahun-tahun.

"Oppa? Huh. Gue kira lo ga selamat," lega Karina melihat Mark ada di depannya juga.

"Dia juga yang nemuin gue, Eonni." ucap Winter.

"Kalian lihat yang lain, ga?" tanya Karina.

Mark menggeleng, "Pas gue bangun ga ada siapapun terus gue nemu Winter lalu nemuin lo," jelasnya.

"Kita harus cari mereka," ucap Karina.

"Ga bisa," cegah Mark. "Bukannya gue ga mau nolongin mereka tapi kalau harus ke sana sekarang, kita ga tau kondisinya bakal berubah kapan aja. Dan kemungkinan besar, teman-teman kita udah tenggelam," jelasnya dengan nada bersalah dan sedih di akhir kalimatnya.

"Udah, lo jangan ngerasa bersalah gitu. Lo udah berusaha nyelamatin mereka," Karina  memegang tangan Mark.

"Ada kemungkinan juga mereka kebawa kayak kita, kan? Siapa tau mereka juga ada di tepian kayak kita?" tanya Winter.

"Kalian mau cari mereka?" tanya Mark.

Winter mengangguk yakin sedangkan Karina hanya mengikuti keputusan mereka saja. Apalagi kondisinya yang sedang terluka membuat ia tidak bisa pergi terlalu jauh.

"Lo bisa jalan?" tanya Mark setelah membantu Karina berdiri. "Kalau sakitnya tambah parah, ngomong." Karina mengangguk.

Mereka berjalan menelusuri tepian berharap bisa menemukan yang lain. Winter berjalan lebih dulu sedangkan dua orang lainnya berjalan di belakang dengan Mark memapah Karina agar bisa berjalan.

Mereka bersahut-sahutan memanggil nama teman-teman mereka. Setiap bagian tepian mereka lihat dengan teliti barangkali teman mereka ada di sana, di balik bebatuan atau mungkin tertutupi pasir? Tidak ada yang tahu, kan.

Mark menghentikan langkahnya saat bagian paha Karina semakin banyak mengeluarkan darah.

"Ga bisa, lo ga bisa kayak gini. Kita harus istirahat." ucap Mark menggendong Karina dan membawanya ke tempat yang sedikit berteduh di bawah pohon kelapa.

"Winter!" teriaknya memanggil Winter yang semakin jauh dari jangkauan mereka.

"Lo bisa tunggu di sini, kan?" Karina mengangguk lemah. Wajah gadis itu sudah sangat pucat.

Mark berlari menyusul Winter sebelum gadis itu semakin jauh. Langkahnya semakin pelan saat Winter sudah ada beberapa meter di hadapannya.

"Win, ayo balik. Kondisi Karina makin parah," ajak Mark.

Winter berbalik namun wajah gadis itu terlihat kaget, telunjuknya menunjuk sesuatu di belakangnya. Perlahan Mark mendekat, melihat yang ditunjuk oleh Winter.

Langkah kaki Mark berhenti mendadak, matanya membulat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan cepat ia mendekat ke arah temannya yang tergeletak tak sadarkan diri itu. Memeriksa denyut nadinya. Memompa jantungnya dengan kepalan tangan agar kembali berdetak namun semua usahanya sia-sia. Orang itu tidak bergerak sama sekali, berapa kali pun Mark mengecek napasnya dengan meletakkan jarinya di depan hidung temannya itu, ia tidak merasakan adanya hembusan angin.

Mark terduduk lemas, air matanya tanpa ia sadari jatuh begitu saja. Salah satu teman mereka menjadi korban yang meninggal atas kejadian ini.

Mark membawa tubuh tak bernyawa itu ke dalam pelukannya, mulutnya terus mengeluarkan kata maaf karena tidak bisa menjaga temannya itu.

"Maafin gue, maafin gue ga bisa nyelamatin lo," isaknya.

"Maafin gue, Chenle," ucapnya memeluk erat tubuh Chenle.

IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang