[7] Lembar Hierarki

65 18 1
                                    

Selama Nathasa bersekolah, entah SD atau SMP—dirinya tidak pernah terlambat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama Nathasa bersekolah, entah SD atau SMP—dirinya tidak pernah terlambat. Baru kali ini dirinya harus merasakan terlambat berangkat sekolah hanya gara-gara mencari kaos kaki yang entah kabur kemana. Alhasil Nathasa datang ke sekolah tanpa memakai kaos kaki, dan sialnya lagi harus terkena hukuman karena tidak disiplin waktu. Hukumannya tidak lain adalah membersihkan tribun gedung kolam renang. Untungnya gedung masih sepi, mungkin tidak ada kelas renang hari ini.

Hanya perlu 30 menit untuk menyelesaikan masa hukumannya. Hingga setelah selesai mengerjakan, Nathasa duduk di salah satu kursi tribun paling atas sembari menaruh alat pel di samping. Dirinya menatap jam tangan yang menunjukkan bahwa mata pelajaran pertama sudah dimulai, mungkin jika Nathasa berani masuk ke dalam kelas bakal habis-habisan dimarahi oleh Bu Dina karena datang terlambat. Jadi Nathasa berpikir bahwa tidak ada salahnya bolos satu mata pelajaran dan berdiam diri di sini.

Melihat air kolam yang tampak tenang, hati Nathasa kembali merasa sesak karena dulu sebelum kecelakaan —dunia Nathasa adalah air. Dia pernah menjadi perenang profesional yang sering mendapatkan kejuaraan yang membanggakan. Dirinya juga merindukan almarhum ayahnya yang sudah mengajarinya berenang. Tanpa sadar, air matanya meleleh sampai mengenai pipi kanannya. Ia segera mengusap pipinya dengan gerakan kasar, lalu menghela napas berat.

Sampai pada detik berikutnya, pintu gedung terbuka lebar. Matanya terbelalak saat melihat kedatangan sosok pria yang biasa dipanggil "Pak Wildan" oleh murid-murid. Mungkin murid-murid yang baru mengenalnya, beliau terlihat sangat berwibawa dan menjunjung tinggi etika berprofesi —sehingga tidak ada yang menyadari kalau Pak Wildan sangat kotor. Citra guru yang berwibawa sudah tidak ada lagi dimata Nathasa semenjak dirinya memergoki Pak Wildan berselingkuh dengan anak didiknya sendiri di gedung ini.

Nathasa bergegas keluar dari gedung ini dengan menuruni tangga tribun. Tetapi ditengah langkahnya, Pak Wildan berseru, "Kamu yakin nggak mau ambil tawaran saya, Nathasa?"

Gadis itu masih berdiri di tengah-tengah tangga tribun, sementara Pak Wildan berada di dasar lantai bawah sembari kepalanya mendongak untuk menatap gadis itu dengan tatapan mengintimidasi. Nathasa sudah menyadari bahwa sekolah ini memang tidak waras untuk dianggap sekolah berakreditasi A.

"Keputusan saya masih sama, Pak. Saya nggak mau ikut lomba itu."

"Kenapa? Apa karena hadiah yang didapat itu kurang buat kamu?"

Nathasa mendecih pelan, "Bapak tau, kan, kalau saya nggak mau berurusan sama renang?"

"Saya tau," Pak Wildan tersenyum tipis, "tapi kamu coba pikirkan kembali matang-matang. Kalau kamu menang, kamu bisa dapat beasiswa—"

"Saya sudah dapat beasiswa prestasi akademik, dan saya rasa itu sudah cukup buat kehidupan saya selama bersekolah di sini." Matanya yang tegas menatap sinis ke arah pria itu. "Cari saja siswa yang bisa dibodohi sama Bapak."

"Maksud kamu apa?" Pak Wildan mengernyit. Kemudian terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendengus kecil, "Oke. Saya menghargai keputusan kamu. Kalau begitu, saya bisa ambil teman kamu buat ikut kelas saya."

My Lovely Hero [Gunwook x Eunchae]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang