Prolog

81 12 7
                                    

"Terserah aku, lah, mau kuliah di kampus mana. Toh, impianku jadi musisi, Yah."

Randu geleng-geleng kepala selagi memegang dahinya. Enggak habis pikir oleh Priambodo--sang ayah yang memaksanya untuk kuliah di kampus kesehatan. Sedangkan Randu, sama sekali enggak berminat. Ia telah mempersiapkan diri untuk mendaftar ke Institut Seni Indonesia di kota Yogyakarta sana. Selama SMA, dirinya pun telah mendalami musik beserta permainan gitar akustik sebagai bekal ujian praktik seleksi pendaftaran kampus nantinya. Masa begitu saja ayahnya enggak mengerti? Helow, sebenarnya Priambodo paham enggak, sih, sila kelima dalam pancasila? Sudah jelas bunyinya 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia'. Artinya, semua orang berhak atas impian dan cita-cita mereka, enggak boleh diremehkan apalagi dipaksakan.

Pria berumur  54 tahun yang rambutnya mulai beruban itu mendengkus pelan. Dari balik kacamata bulat kecilnya, ia menatap intens anak bungsunya yang tampak gusar, enggak terima soal permintaannya--lebih ke pemaksaan--barusan.

"Kamu boleh, kok, suka sama musik, seni, atau sejenisnya, tapi jangan sampai mengorbankan masa depan, itu aja." Priambodo bicara lagi. Setiap perkataan yang terlontar terkesan menekan. Raut wajahnya datar seperti papan triplek sehabis diamplas.

Kali ini, giliran Randu yang mendengkus--lebih kasar--lalu mencondongkan tubuhnya seraya memandang ayahnya lekat. Tatapannya tajam, setajam silet.

"Mengorbankan masa depan gimana, toh, Yah? Kan, impian Randu udah jelas mau jadi musisi. Banyak, kok, musisi di Indonesia yang maju dan sukses, terus punya banyak uang. Ayah nggak usah kha--"

Belum selesai Randu bicara, spontan Priambodo bangkit dari duduk, seolah memotong pembicaraannya. Setelah meletakkan selembar brosur berisi info pendaftaran kampus kesehatan di atas meja ruang tamu, dia bicara lagi.

"Pokoknya, Ayah nggak mau tahu, Ndu. Kamu harus masuk ke kampus kesehatan, kuliah di situ. Udah Ayah lingkarin rekomendasi jurusan yang harus kamu daftar di brosur," tukas Priambodo. "Kalau nggak, ya terpaksa Ayah bakal kirim kamu ke Australia sekaligus hapus namamu dari kartu keluarga."

"Hah? Lho? Kok, gi ... tu ...."

Mendengar penuturan itu, Randu tercengang. Hendak mengelak, tetapi ayahnya lebih dulu meninggalkannya, lantas pergi ke arah dapur. Raut wajah kebingungan diiringi amarah yang tertahan itu mulai resah, Randu pun mengambil brosur hijau tua yang dipadukan warna kuning di bagian lain. Kedua matanya mulai bergerak, ia membaca kalimat per kalimat dari awal sampai akhir isi brosur. Di akhir, cowok itu menarik napas panjang, kemudian dirinya menyandarkan punggungnya ke sofa. Dilihatnya langit-langit yang di tengahnya terdapat lampu gantung terbuat dari berbagai macam kerang yang disusun secara bertumpuk. Seketika, pikirannya mendadak berkecamuk.

"Astaghfirulloh. Cobaanmu sungguh menggetarkan jiwa, ya Allah," gumamnya selagi mengusap-usap dada.

Meskipun begitu, Randu tetap mendaftar. Ia takut akan terjadi perang dunia ke empat dengan ayahnya. Sebenarnya, diasingkan ke luar negeri enggak buruk-buruk amat untuk Randu. Ia bisa melalang buana, sebebasnya mau ke mana saja. Menjadi musisi jalanan, mungkin bisa, lalu mengumpulkan banyak uang. Masalah utamanya, Randu itu enggak terlalu bisa bahasa Inggris. Sudah gitu, enggak hanya diasingkan pula, tetapi namanya sekalian dihapus dari kartu keluarga. Kan, bikin ... nganu.

Ya, daripada Randu di cap anak durhaka karena enggak mau nurut, ia pun berusaha semaksimal mungkin, walaupun setengah jiwanya hilang ke antah berantah, apalagi setelah mengikuti serangkaian ujian tulis yang isinya soal-soal ujian nasional, Randu malah berhasil lolos ke nominasi utama sebagai mahasiswa jurusan Teknik Radiologi--dia berharap enggak masuk, supaya beralih ke kampus impiannya.

Randu juga setengah enggak percaya. Kok, bisa lolos? Padahal, ia menggarap asal semua soal yang diberikan ketika ujian. Kebanyakan hitung kancing, selebihnya asal coret.

Ah, tentang jurusannya, jujur Randu enggak tahu menahu soal Teknik Radiologi. Rasanya terlalu asing, jarang disebut oleh teman-teman sepermainannya. Lagi-lagi semua itu demi ayahnya yang terhormat, ia berjuang. Pokoknya, semangat 86. Selebihnya, ya ... mbuh, mbuh, dan mbuh

Anyway, terlintas banyak pertanyaan dalam benak Randu setelah melewati proses yang tidak dimaunya itu. Kenapa ayahnya begitu memaksa? Kurang puaskan beliau terhadap ketiga anak kandung lainnya yang sudah menjadi dokter?

Randu menggeleng berkali-kali, ia takkan peduli, tetapi rasa penasaran itu tetap ada. Mau tidak mau, cowok itu kudu semangat menjalani hari menjadi mahasiswa Radiologi.

Semangat, semangat, Amsyong, dah!

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang