Chapter 12 -- Thoracal

20 2 0
                                    

Pintu berlapis cat putih bersih itu dibuka kasar, mengenai dinding yang terhantam paksa. Seketika getaran terasa mengguncang sekitar. Bersama gitar kesayangan serta setumpuk kaset yang berhasil diselamatkan, Randu berjalan cepat ke arah kamarnya. Raut wajahnya merah padam. Emosi masih menyelimuti dirinya. Ia bahkan enggak peduli dengan keadaan rumah yang mungkin menuai tanya.

Di kamar, Randu melempar gitar asal ke tempat tidur. Disusul setumpuk kaset di meja belajarnya. Ia menduga ini ulah Priambodo. Sejak kemarin, ayahnya memang terlihat menyindir ditambah berulangkali memastikan Randu agar tidak bertindak gegabah. Awalnya, Randu berusaha untuk tutup telinga, lalu menjalani kehidupan sebagai mahasiswa kesehatan dengan penuh kesadaran, tetapi kali ini kesabarannya telah berada di batas ambang. Randu hanya manusia biasa, ia bisa marah, emosi, dan melakukan hal di luar dugaan.

Diraihnya benda pipih hitam di atas nakas, Randu segera menelpon seseorang. Bunyi tuuut panjang yang terdengar membuat cowok itu berang. Hingga panggilan keempat, Randu baru bisa mendengar lawan bicaranya menghela napas kesal.

"Ben, aku nginep kosmu sekarang. Cepetan share lock atau kasih ancer-ancer. Nggak pake lama!" pinta Randu to the point.

"Hah?" Sedangkan, dari seberang sambungan telepon, Ben tampak kebingungan. Apalagi dirinya baru saja ketiduran, lantas dipaksa bangun gara-gara nada ponselnya berdering terus menerus.

"Kutunggu!" Setelahnya, Randu mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respons Ben. Ia buru-buru mengemasi beberapa baju, celana, serta pakaian dalam. Tidak lupa, gitarnya ia bawa pada aksi perminggatan ini. Muak, satu kata yang terus terlintas di benak Randu. Ia butuh ketenangan, meskipun harus tidur di luar rumah.

"Lho? Randu? Kamu mau ke mana?" Prameswari yang baru saja pulang kerja terkejut hingga membesarkan kedua matanya. Melihat Randu telah bersiap dengan satu tas ransel besar, serta gitar di tangan, wanita berseragam putih itu jadi bertanya-tanya.

Randu malas menjawab, ia hendak melewati ibunya, tetapi langkahnya terhenti begitu tatapannya bertemu dengan Priambodo. Keduanya tampak menegang, seperti ada sulutan emosi yang mengalir cepat ke seluruh pembuluh darah.

"Jadi anak, kok, nggak ada kapok-kapoknya, toh? Udah Ayah bilang buat nurut, masih aja berontak. Ayah tahu kamu sering ke studio musik, makanya pulang malam terus. Mau sampai kapan, Ndu? Sampai masa depanmu--"

Jujur, Randu enggan menyela perkataan orang tuanya, itu adalah perbuatan tercela, tetapi hatinya sedang lelah. Ia butuh tenang sebentar. Rasa sakitnya masih terasa, mengingat gitar pemberian Mbah Djiwo sengaja dirusak, lalu dibuang ke tempat sampah. Satu-satunya benda yang membuat Randu merasa punya teman sehati.

"Asal Ayah tau, kalau masa depan itu masih abu-abu. Dan, Ayah nggak bisa seenaknya bilang kalau masa depanku suram cuma karena pengen jadi musisi!" ucap Randu. Kalimat yang diucapkan penuh penekanan. Ia benar-benar ingin menepi dari huru-hara.

Decakan kasar terdengar. "Tapi, asal kamu tau, Ayah berhak mengarahkan anak sendiri untuk masa depan yang lebih baik!" Priambodo bicara dengan lantang. Seakan memecah keheningan malam.

"Tsk. Masa depanku atau masa depan siapa, Yah? Atau, Ayah emang malu punya anak yang kuliahnya selain kedokteran?" Dua pertanyaan dalam satu waktu. Randu hendak pergi setelah bertanya. Ia enggan menunggu apa jawaban ayahnya. Ia yakin, pasti Priambodo akan marah-marah lagi.

Priambodo melangkah cepat, mendekati Randu, kemudian mendaratkan satu tamparan di pipi kiri milik anaknya itu. Terasa cepat, hingga Randu tak bisa merasakan apa-apa, selain rasa sakit yang selama ini dipendamnya.

"Jaga omongan kamu! Ayah enggak pernah ngajarin anaknya buat membantah orang tua!"

Randu mendengkus singkat, lalu ia terkekeh. Air matanya terasa membendung. Tanpa berlama-lama lagi, dirinya memutuskan pergi. Meninggalkan Priambodo yang masih terdiam. Serta, Prameswari kerap memanggil namanya berulang kali.

"Mungkin, emang lebih baik aku nggak pernah lahir ke dunia ini. Kalau pada akhirnya, orang-orang nggak menerima segala keputusanku," ucap Randu dalam diamnya. Motor yang ia naiki pun melaju cepat ke arah jalanan besar, menembus angin malam yang sempat menghantarkan dingin.

***

"Ayo, duduk, Yah." Prameswari memandu suaminya untuk duduk di sofa. Menyuruh pria itu mengambil tenang lantaran amarah baru saja menguasai hati dan pikirannya. Setelahnya, wanita berkerudung putih tulang itu mengambil segelas air di dapur, lalu memberikannya pada Priambodo.

"Minum dulu. Biar agak tenangan."

Segelas air itu diraih Priambodo, lalu ia meminumnya hingga tandas. Perasaannya jauh lebih lega dibandingkan tadi. Snelli yang masih dikenakan, Priambodo melepasnya, kemudian menaruhnya di samping ia duduk.

"Aku cuma nggak mau masa lalu yang menyakitkan itu terulang, Prames. Kamu tahu sendiri, kan, Mas Prasetyo meninggal gara-gara ditusuk orang pas nonton konser musik? Bahkan, dia sendiri adalah seorang musisi yang bandnya cukup terkenal. Dan kabarnya banyak orang iri dengki sama dia."

Prasetyo Harjono, kakak laki-laki Priambodo yang sudah tiada sejak pria itu masih di bangku perkuliahan, sedang berjuang mendapatkan gelar dokter untuk pertama kali. Ketika sebuah konser musik menjadi malapetaka bagi Prasetyo. Ditikam oleh orang asing dari belakang hingga membuatnya kehabisan banyak darah. Ia lalu terjatuh, tanpa ada bala bantuan yang segera datang menolong. Bahkan, kabar dirinya sekarat terlambat sampai ke keluarganya. Termasuk Priambodo yang waktu itu berada di luar kota Semarang, terpaksa pulang dalam semalam, kemudian berlarian ke IGD rumah sakit tempat Prasetyo dilarikan untuk mendapat pertolongan pertama. Nahasnya, ketika Priambodo baru sampai, kabar duka pun terdengar memilukan. Prasetyo dinyatakan meninggal lantaran kehabisan banyak darah, serta kondisi limfanya robek.

Sejak saat itu, Priambodo bertekad tidak lagi mengizinkan keluarganya di masa depan untuk sekadar nonton konser, apalagi sampai menjadi musisi. Ia takut, kejadian yang sama akan terulang kembali. Masa lalu yang menyisakan trauma, masih membekas, entah kapan akan hilang.

"Sabar, Yah. Semua sudah berlalu. Mas Tyo juga pasti sudah tenang di atas sana," ucap Prameswari sambil mengusap-usap punggung suaminya.

"Iya, Mah. Aku cuma nggak mau Randu nasibnya sama kaya Mas Tyo. Aku cuma mau melindungi anak kita." Kedua bahunya melorot. Kini, Priambodo merenung. Ia benar-benar ingin melindungi Randu dari segala musibah, meskipun caranya terbilang keras.

Prameswari tersenyum tipis. "Yah, kita nggak tahu akan ada apa di hari esok. Kematian itu termasuk takdir Tuhan yang pasti. Dan katanya, hari apes nggak ada di tanggalan. Jadi, lebih baik hilangkan pikiran burukmu itu dulu. Cobalah berhuznuzon kalau Randu bisa jaga diri. Aku yakin, dia bukan anak yang suka macam-macam, kok."

"Buktinya, dia mau menjalani perkuliahan di kampus kesehatan sampai sekarang. Kalaupun dia ngebet banget jadi musisi, terus nekat bolos kuliah, udah pasti dilakuin dari awal. Kenyataannya? Enggak, 'kan? Malah akhir-akhir ini, aku lihat suasana hatinya lagi baik. Berarti, dia mulai nyaman, Yah."

Mendengar pernyataan panjang lebar dari sang istri, Priambodo bungkam sesaat. Ia menunduk, menatap lantai berkeramik putih. Rasa-rasanya, hatinya seperti disentil hingga menimbulkan nyeri. Apa mungkin selama ini Priambodo hanya berusaha memenangkan egonya? Bukan memikirkan perasaan seorang Randu yang telah mematuhi perintahnya?

"Aku memang keterlaluan ya, Mah?" tanya Priambodo pelan.

"Enggak, Yah. Namanya orang tua pasti khawatir, tapi jangan sampai mengorbankan perasaan si anak. Karena, nanti ketika kita meninggal, mau minta doa ke siapa lagi, Yah? Anak soleh doanya manjur, toh?"

Segurat senyum terukir di bibir Priambodo. Ia terkekeh setelah merenung cukup lama. Sekaligus bersyukur karena masih diingatkan, bahwa manusia adalah makhluk biasa. Mereka takkan bisa memprediksi masa depan seperti apa. Manusia hanya harus berdoa sekaligus berharap kebaikan menyertai selalu.

Mungkin, saat ini Priambodo akan merelakan Randu sementara waktu. Biarkan anak bungsunya itu menepi dulu. Ia yakin, Randu akan pulang ke rumah secepatnya.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang