Chapter 3 -- Thorax

32 7 14
                                    

Kasur yang empuk menjadi sasaran Randu di kala pinggangnya mulai terasa encok. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya setelah menutup pintu kamar. Remot air conditioner yang terletak di meja kecil samping tidur diraihnya. Setelah Randu menekan tombol ON, ia langsung menekan tombol pengatur suhu dan memasukan angka 18°C. Enggak peduli soal udara dingin setelah turun hujan, Randu nekat menyalakan AC kamar bersuhu cukup rendah. Gara-gara ceramah panjang lebar dari Priambodo, membuat aliran darahnya memanas. Sekujur tubuh Randu pun seperti tersengat bara api.

Sempat memejamkan mata sejenak karena kelelahan, Randu sontak berjingkat dari tempat tidur. Ia mendadak amnesia soal tugas yang diberikan Bu Defi. Dengan terpaksa, ia harus bergulat dengan pensil, spidol warna-warni, bahkan mungkin krayon malam ini. Kalau boleh memilih, lebih baik Randu bersama gitar akustik kesayangannya.

"Main gitar dulu kali, yak?" gumam Randu sambil menaikan kedua alisnya. Ia tersenyum samar, lalu bergegas meraih gitar cokelat tua dengan stiker berbagai bentuk di setiap sisi, yang digantung dekat meja belajar. Saranghaeo, itu nama gitar Randu yang mungkin telah ada lima tahunan, sejak cowok itu masih berada di bangku SMP.

Randu mulai memetik senar ke empat, lalu ke lima secara bergantian. Ia sebenarnya enggak berencana memainkan lagu tertentu. Hanya iseng melantunkan nada-nada asal, tetapi masih enak didengar. Randu lakukan itu selama beberapa menit. Lama-lama, nada asal tadi berubah mirip nada musik khas keroncong. Kepalanya pun digerakkan maju mundur, seolah asyik menikmati lirik lagu yang tiba-tiba dinyanyikan.

"Sang pujaan tak juga datang
Angin berhembus bercabang
Rinduku berbuah lara
Sang pujaan tak juga datang
Angin berhembus bercabang
Rinduku berbuah lara...."

Angin Pujaan Hujan lagu milik band indie Payung Teduh adalah salah satu lagu kesukaan Randu. Itu mengingatkannya pula dengan sosok Mbah Djiwo--kakek Randu yang sudah meninggal ketika cowok itu masih kelas 10 SMA. Dahulu, ketika beliau masih ada, tumpukan kaset jadul berisi sejumlah album band tahun 80-an tersebar di segala sudut rumah, bahkan poster musisi idola--kalau enggak salah namanya Stevie Wonder-- sengaja dipigura kayu, kemudian digantungkan pada dinding, persis di atas televisi ruang keluarga.

Pertama kali Randu mengenal musik, justru karena Mbah Djiwo. Segala hal, beliau ceritakan pada cucu laki-lakinya. Mulai dari band asal Indonesia Koes Plus yang memiliki album berisi lagu tentang Nusantara. Randu pernah dengar, katanya orang-orang dalam band tersebut sangat mengagumi bumi Indonesia dengan segala hiruk-pikuk di dalamnya.

Keren. Satu kala yang terlintas di benak Randu kala itu. Kedua matanya berbinar tiap kali berbincang santai bersama Mbah Djiwo di halaman belakang rumah, tempat favorit mereka. Apalagi, setelah hujan reda. Udara sejuk menyeruak hingga menembus rongga hidung. Enggak lupa, sepiring pisang goreng dan kopi hangat sebagai pendamping cerita.

"Mbah, Randu kepengen jadi musisi. Biar namaku terkenal di seluruh penjuru negeri. Kalau bisa se-nusantara, atau malah mancanegara. Pokoknya, kudu legend!" ucap Randu menggebu-nggebu.

Mbah Djiwo terkekeh pelan. Ia menepuk-nepuk punggung Randu. "Bisa, kok, le. Asal usahamu jalan. Nek cuma awang-awang, semua orang mah bisa," ujarnya.

"Masalahnya, Randu ndak punya gitar buat belajar, Mbah. Ayah ngelarang aku main-main sama alat musik. Katanya, jadi ndak konsen belajar." Cowok itu menunduk. Tatapannya berubah sendu.

"Udah, seng penting iku niatmu, Ndu. Masalah alat musik, biar Mbah nanti seng beliin kamu gitar. Tapi inget, gitare kudu dijaga, terus dirawat. Ojo sampe rusak."

Sontak, Randu memandang kakeknya dengan berbinar-binar. Seolah mendapat durian runtuh, ia sangat bersyukur kenal dekat dengan Mbah Djiwo. Kakeknya yang baik hati dan selalu mendukung apa yang dilakukan Randu. Namun sayang, umur manusia sangatlah terbatas. Tepat di usia 85 tahun, Randu kehilangan sosok penyemangatnya dalam bermusik. Sedih? Pasti, sangat bahkan Randu sempat ingin berhenti menjadi musisi, tetapi lagi-lagi kalau bermimpi jangan sampai cuma setengah-setengah, harus full energi, seperti kata Mbah Djiwo.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang