Chapter 1 -- Abdomen

62 9 7
                                    

Masih jam 08.00 pagi, tetapi hawa kantuk mulai melanda Randu. Sejak tadi, ia menyangga kepalanya dengan tangan selagi memerhatikan dosen mengajar. Suasana kelasnya terbilang sunyi. Hampir empat puluh orang terdiam, sama sekali enggak berisik, atau berkutik barang sejenak. Mereka semua benar-benar tenang sambil mencatat mata kuliah yang sedang diterangkan lewat layar LCD.

Anatomi Fisiologi. Randu cukup tahu, itu pasti mata kuliah tentang bagian-bagian tubuh dari manusia. Mulai dari atas sampai bawah. Mulai dari syaraf pusat sampai mini, eh, maksudnya kecil dan mendetail, enggak bisa dilihat oleh mata telanjang. Ia sempat mendengar salah satu kakaknya belajar kala lalu.

Menyebalkan. Randu merasa pusing dari awal mulai dosen masuk ke kelas, lalu menerangkan banyak gambar organ yang dijelaskan dengan tiga bahasa. Bahasa Inggris, Latin, dan Indonesia. Beruntung, cowok berambut cepak itu duduk di barisan kedua dari belakang, lalu tertutupi oleh tubuh besar dari teman-teman kelas yang duduk persis di depan kursinya. Seenggaknya, Randu bisa, lah, mencuri waktu untuk molor sebentar.

Faktanya, Randu memilih mendengarkan lagu-lagu yang telah dimasukannya ke dalam daftar playlist favoritnya pada aplikasi Spotify dan dinamai 'Senja bersama Dwipangga'. Ia pun segera mengambil earbuds dari tas slempang hitamnya dan memasangkannya ke telinga. Masa bodoh, bila ada yang memergoki, kemudian berniat menegur. Pasalnya, Randu sudah berada di ambang batas kebosanan mengikuti mata kuliah ini. Paham saja enggak, yang ada otaknya mulai kepanasan. Bisa jadi berasap, butuh disiram air satu galon.

"Pada potongan anatomi cross sectional axial¹ organ abdomen² kita bisa melihat ada banyak bagian-bagian penting, terutama saat pemeriksaan...."

Suara dosen mengajar tiba-tiba mengecil, tertutup oleh alunan lagu syahdu yang mulai menyelimuti indera pendengar Randu. Lagu berjudul 'Surf' milik Band asal Korea Selatan bernama Wave to Earth itu seketika menghipnotis Randu untuk menggerakkan kakinya, ditambah jemarinya yang mulai bergemelatuk di atas meja. Ia sungguh menikmati, tanpa sadar diperhatikan oleh seseorang yang duduk di sebelahnya. Ingin menegur, tetapi cowok berponi pendek bernama Ozi itu enggak berani. Terlebih lagi, Bu Defi--dosen anatomi fisiologi yang terkenal tegas mulai berjalan ke arah belakang kelas. Takut, kalau-kalau Randu malah ketahuan dan dihukum suruh menjelaskan apa saja organ abdomen yang kelihatan di potongan axial tadi.

"Hatiku tidak berjalan sesuai keinginanku, seperti terjatuh ke laut...."

"Perasaan yang terus bergoyang..."

"Rasanya seperti aku mabuk perjalanan..."

Randu mulai meracau sendiri. Lirik-lirik terjemahan dari lagu Wave to Earth ia lantunan hingga beberapa pasang mata sempat mengalihkan atensi pada dirinya. Termasuk Bu Defi, yang telah berdiri di belakang kelas, memerhatikan saksama tubuh Randu yang mulai goyang ke sana kemari. Gelengan kepala disertai decakan sebal pertanda dosen itu akan melancarkan aksinya sekarang.

"Sst, Randu, Randu, Randu!" bisik Elian penuh penekanan. "Randu! Bu Defi, Ran!" Ia berteriak lagi sambil menyenggol berulang kali lengan Randu yang 'agak' berotot itu, tetapi sang empunya malah terus bernyanyi seolah dunia hanya miliknya, lainnya ngontrak.

Merasa terusik, Randu akhirnya melepas salah satu earbuds--nya. Memasang tampang enggak bersalah dia bertanya, "Apa? Kenapa? Bu Defi pingsan?" tanyanya polos. Dan, jawaban Elian cuma geleng-geleng kepala. Membuat Randu semakin bingung.

Tentu, dosen yang disebut-sebut namanya barusan langsung memajukan langkah kakinya, mendekati meja Randu. Ia bersedekap, lalu berdeham berkali-kali. Sampai si target sadar ada yang enggak beres.

Seperti kedatangan makhluk halus, bulu kuduk Randu terasa menegang. Ia pun bisa merasakan keringat dingin mengalir di kedua pelipisnya. Sesaat kemudian, Randu mendongak pelan-pelan. Spontan, debaran jantungnya meronta-ronta. Kini, ia seperti dihadapkan oleh sosok menakutkan mirip genderuwo, yang enggak lain adalah Bu Defi. Wajah wanita itu tampak menyeramkan. Kerutan di dahi, serta tatapan menusuknya membuat Randu kalang kabut. Ingin rasanya, cowok itu berlari sekarang daripada kena serangan maut.

"Siapa bilang di kelas saya boleh jogat-joget kaya gitu, hah?" Satu pertanyaan lolos dari bibir berlipstik merah menyala itu.

"Saya ingatkan sekali lagi, ya. Di sini tugasnya belajar bukan malah ngereog kaya gitu," imbuh Bu Defi. "Sekarang, cepetan gantian kamu yang jelasin apa aja organ yang ada pada potongan axial abdomen, nggak pake lama!"

Mampus, Randu refleks menepuk dahinya. Sungguh, pagi menjelang siang yang apes. Faktanya, dewi fortuna belum mau memberikan keberuntungan padanya. Terpaksa, sambil ogah-ogahan, Randu mengangkat pantatnya dari kursi, lalu berjalan ke depan kelas. Pasrah, satu kata yang terlintas. Ia sama sekali enggak mengerti soal potongan axial, atau apapun tadi.

"Hadeh, mending aku lari di lapangan daripada suruh jelasin gini. Duh, ya Allah, tulung hamba-Mu ini, please," batin Randu mulai bergejolak. Memegang spidol saja ia gemetaran. Benar-benar hari tersial di dunia bagi Randu seorang.

***

Jalannya lunglai, bahunya merosot. Sambil mengusap peluh yang setia menempel di dahi, Randu berjalan sendirian ke arah parkiran motor. Tepat sebelum zuhur, mata kuliah anatomi fisiologi sebanyak dua pertemuan itu selesai dengan banyak drama. Semua jawaban Randu salah total, berakhir cowok itu diberi tugas untuk menggambar anatomi extermitas superior³ lengkap sesuai permintaan Bu Defi. Akan tetapi, namanya Randu, sifatnya cenderung masa bodoh terhadap segala tugas yang ada. Ia ingin mendinginkan pikirannya sejenak dengan hal yang dia sukai.

Nge-band. Yaps, that's right.

Tanpa sepengetahuan orang rumah, terutama ayahnya, Randu diam-diam pergi ke studio musik bersama teman semasa SMA-nya dulu. Kebetulan yang sungguh membuat bahagia, tiga dari enam anggota bandnya dulu kuliah di satu kampus yang sama, meskipun berbeda dari Randu, tetapi enggak jadi masalah. Mereka tetap menjadi pelarian Randu di kala cowok itu penat karena tugas kuliah yang bejibun. Ia pun sadar kalau otaknya lebih mirip komputer pentium satu. Enggak pantas kuliah di kesehatan--notabene isinya mata kuliah njlimet dan bikin pusing tujuh keliling.

Bumi Band's

Randu: "Nanti jadi nge-band, 'kan? Kalau jadi, aku tak mampir ke kosan Adit dulu. Bentar lagi on the way."

Belum lama, salah satu teman Randu merespons chat dengan cepat.

Johan: "Aman, Ndu. Harus jadi, lah. Lagian, Danu juga udah booking studionya. Sayang banget kalau sampe zonk."

Randu menyunggingkan senyumnya. Sekarang, ia duduk di atas jok motornya. Suasana parkiran lumayan lenggang, enggak banyak mahasiswa yang membawa kendaraan. Rata-rata mereka datang dari luar kota. Terkecuali, Randu yang asli pribumi Semarang.

Randu: "Oke, deh. Eh, Adit mana, nih? Kok, nggak respons, ya. Jangan-jangan, dia masih kuliah?"

Johan: "Terakhir, sih, dia sempet bilang ke aku, kalau mau tidur bentar di kosan. Kamu ke sana aja, Ndu. Dobrak aja pintunya, gih."

Randu: "Ngawur kowe, tah." (Ngawur kamu, tah)

Setelahnya, Randu hendak bersiap pergi ke kosan Adit, tetapi aktivitasnya justru terhenti oleh pop-up chat yang enggak sengaja muncul di layar depan. Tampak nama Priambodo dan Mas Biru--kakak pertamanya.
Mereka seolah sedang membicarakan sesuatu lewat grup keluarga. Karena rasa penasaran tinggi, Randu membuka chat itu. Sudah ada 30 pesan yang terus berlanjut. Kerutan di dahi pertanda cowok itu sama sekali enggak mengerti isinya, apalagi banyak foto-foto organ manusia dalam bentuk foto rontgen beterbaran.

"Seriusan, ini grup keluarga atau rumah sakit, sih?" Randu membatin.

Ah, daripada otaknya makin keriting, Randu menutup aplikasi berlogo warna hijau itu, lalu memasukan ponselnya ke tas. Lebih baik, ia bergegas ke kosan Adit, kemudian hura-hura di studio musik.

***

Catatan:

¹Anatomi cross sectional axial: Gambaran potongan anatomi tubuh yang ditampilkan dari sisi atas.
²Abdomen: Bagian rongga perut.
³Extermitas superior: anggota gerak tubuh bagian atas.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang