Terngiang-ngiang oleh perkataan ayahnya kemarin, tetapi Randu sama sekali enggak sakit hati. Justru, itu pacuan semangatnya untuk membuktikan bahwa musisi enggak seburuk yang dibayangkan. Musisi yang namanya telah terkenal di berbagai penjuru Nusantara pun pasti pernah melewati jatuh bangun. Belum lagi, mereka diremehkan, dihina, dan dicaci maki. Mungkin, Priambodo belum tahu, kalau kesuksesan setiap orang itu berbeda. Dan, jurusan kedokteran bukanlah satu-satunya cara menuju Roma. Masih banyak alternatif lain, lalu yang penting lagi, kan, bisa sampai tujuan utama.
Semilir angin menemani kesendirian Randu pagi ini. Ia sengaja berangkat lebih dulu ke kampus, setengah jam lebih awal dari jadwal mata kuliah yang ditetapkan. Niatnya adalah menghindari percakapan keluarga di kala sarapan bersama. Meskipun, Prameswari sempat menahannya agar membawa bekal yang telah disiapkan. Namun, Randu menolak. Ia enggan tinggal lebih lama, mengingat ucapan Priambodo sebelumnya, ia yakin, ayahnya itu akan mengulangi perkataan yang sama hingga membuat Randu mual.
Di balkon paling atas dari gedung Pascasarjana, Randu sekarang berada. Ia sengaja ke sudut kampus yang jarang terjamah ini lantaran ingin berjeda sebelum kuliah dan pertemuannya dengan UKM Band Mega Mendung nanti. Randu tahu tempat ini dari Fahri yang kabarnya cocok buat healing, cari senja, tetapi asal enggak lompat dari gedung karena stres permasalahan kuliah.
Randu berdiri dekat pembatas tembok yang mengarah langsung ke pemandangan sekitar kampusnya. Pemukiman padat penduduk, serta jalan tol Tembalang, bahkan dari kejauhan samar terlihat laut utara jawa. Mungkin, kenapa Semarang panasnya kebangetan kalau siang, sampai malam pun sama? Ya, karena dekat dengan laut tadi. Atau, tanpa disadari jumlah matahari Semarang juga ada banyak.
"Ternyata, sejuk banget di sini," gumam Randu sesekali menghirup oksigen banyak-banyak. Ia merasa jiwanya yang redup kembali bersinar. Seperti menemukan kebahagiaan yang telah lama menghilang. Lebay, tetapi itu kenyataannya bagi seorang Randu yang merindukan tenang.
Kurang puas hanya berdiri dari balik tembok pembatas setinggi lehernya, Randu iseng melompat, lalu naik. Ia berdiri sambil merentangkan kedua tangan. Sama sekali tidak takut terjatuh dari atas gedung.
"Kira-kira, kalau aku lompat dari sini, terus langsung meninggal, ada yang bakal kangen, nggak, sih?" ucap Randu disertai tawa.
"Emangnya udah yakin kalau nanti mati, amal ibadah kamu bakal diterima sama Tuhan?"
Spontan, Randu menengok ke arah sumber suara. Tepat di belakang ia berdiri, seorang cewek berkerudung putih menutup dada dengan headphone biru muda terpasang di kepala. Ia menatap Randu datar setengah heran.
Tiba-tiba, tubuh Randu sedikit oleng. Ia pun segera melompat turun dari pembatas tembok, takut ucapannya tentang mati diaminkan oleh malaikat maut yang iseng melihat tindakan gegabahnya itu.
"Enggak yakin, sih, amalanku banyak, tapi seenggaknya dengan menghilang dari durjana dunia, sedikit mengurangi beban hidup, 'kan?" jawab Randu sambil menaikan kedua alisnya.
Cewek tadi berjalan mendekati Randu. Refleks, salah satu kakinya menginjak sepatu pantofel cowok itu yang kelihatan mengkilat.
"Woi, ini baru aja disemir! Kok, malah diinjek-injek, sih?" Randu mengaduh, ia langsung ambil posisi jongkok, lalu mengusap-usap sepatunya dengan tangan.
"Randu, mending kamu, tuh, fokus belajar. Daripada mikirin hidup dan mati. Masalah itu, biar Tuhan yang atur. Lagian, mati termasuk takdir yang pasti terjadi." Panjang lebar cewek berkerudung itu menjelaskan.
Randu berdecak sebal. "Iya, aku tau, kok, lagipula aku belum ada niat buat mati," jawabnya, lalu menyipitkan kedua mata. "Eh, kamu ngapain di sini, Ra? Jangan-jangan kamu yang pengen mati?"
Helaan napas terdengar, Yuranita sontak menggeleng. "Enak aja. Emang kamu!" cibirnya. "Aku biasa ke sini buat baca novel sambil dengerin lagu. Seru, soalnya sepi dan nggak banyak orang. Jadi, minim distraksi."
"Oh, gitu. Eh, kamu suka lagu apa? Rock? Metal? Jazz? Bossanova? Atau, dangdut?" Randu jadi penasaran. Kalau soal lagu, ia paling suka membahasnya.
Yuranita berjalan mendekati tembok pembatas balkon. Ia bersandar di sana, lalu tersenyum. Novel bersampul hijau tua masih setia dalam genggamannya.
"Aku suka lagu-lagu jazz, bossanova, dan sejenisnya. Pokoknya, yang selow burn, tapi enak didengerin telinga."
"Wah, selera kita nggak jauh beda. Aku juga suka jazz, apalagi musik keroncong. Enak banget didengerin sambil main gitar," jawab Randu. Ia pun ikut bersandar di sebelah Yuranita. Keduanya sama-sama mendongak, menatap lekat langit biru yang tampak bersih dari gumpalan awan. Semarang memang panas, tetapi kalau disuguhkan pemandangan alam yang memanjakan mata tentu tidak jadi masalah.
Yuranita berdeham. "Kamu bisa main gitar ya, Ndu? Boleh, lah, kapan-kapan aku rikues lagu." Permintaan iseng cewek berkerudung itu membuat Randu otomatis tersenyum. Suka gitar? Jelas, sangat. Calon anggota UKM band Mega Mendung gitu, lho.
"Bisa. Anyway, sebenernya aku calon mahasiswa ISI yang gagal. Karena dipaksa aja, aku jadi kuliah di jurusan Radiologi. Kalau enggak mau, aku bakal diasingkan ke luar negeri," jelas Randu. Ia, selalu ingat ancaman ayahnya itu.
"Aku juga, kok, Ndu. Jurusan Radiologi sama sekali enggak ada dalam bayanganku. Aku cuma ikut saran orang tua. Berbekal rido mereka, akhirnya aku daftar dan menjalani hari-hari penuh suka cita." Dari nada bicara Yuranita, ia memang tampak menikmati kuliah di kampus kesehatan. Raut wajahnya terpancar sikap positif yang seharusnya bisa dicontoh oleh Randu. Sebab, apa yang kita lakukan, sumbernya dari hati bukan ? Kalau ikhlas, tentu semua akan mudah dijalani.
Namun, Randu belum sampai di tahap itu. Perlahan, tetapi pasti ia yakin akan legowo dengan segala hal yang terjadi di hidupnya. Minimal, impian menjadi musisi dapat terwujud, entah bagaimana caranya.
"Keren kamu, Ra. Coba kalau ikhlas itu mirip sama mi instan, ya. Bisa langsung jadi cuma dikasih air panas. Sedangkan faktanya, enggak semudah itu," ucap Randu sambil menghela napas. Tatapannya masih tertuju pada langit. Rasanya, ia ingin terbang ke langit ke tujuh saja.
"Semua pasti yang terjadi di dunia, pasti ada maknanya, Ndu. Kayak kamu yang dipaksa kuliah di kampus kesehatan. Percaya sama aku, kamu enggak akan menyesal sama sekali kalau nurut sama orang tua. Mereka itu udah ngejalanin segala hiruk pikuk kehidupan, lebih dulu dari kita."
Benar. Yuranita benar, kok. Randu hanya berharap, semoga Priambodo mendukungnya untuk menjadi musisi. Melalui UKM band Mega Mendung, Randu bertekad akan menggapai impiannya punya band sendiri.
"Makasih ya, Yura. Berkat nasihatmu, seenggaknya hariku cerahan dikit. Tadinya, suram, banyak petir malah." Randu terkekeh, lalu ia juga bercerita akan mendaftar UKM band kampus. Lama kelamaan, keduanya berbincang layaknya teman dekat. Randu baru tahu, ia sekelas dengan Yuranita. Selama ini, dirinya enggak terlalu fokus memperhatikan teman sekelas. Cukup Fahri dan Baskara, sebab keduanya lumayan sering duduk di sebelah Randu.
"Namamu bagus, Lazuardi Yuranita Dandelion. Kayak nama orang luar, lho. Jangan-jangan kamu bule?" goda Randu.
Yuranita mendengkus pelan. "Amin, deh. Doakan aja. Siapa tau emang tempat tinggal asliku bukan di Indonesia, tapi di Swiss misalnya." Ia menjawab sambil membaca novel yang dibawanya tadi.
Di sela-sela obrolan mereka, Randu bisa merasakan ponselnya di saku celana bergetar. Ia segera meraih benda pipih itu, terpampang nyata nama Baskara di layar sedang memanggil. Kabarnya, mata kuliah pagi ini akan segera dimulai.
"Ayok ke kelas. Pak Adi udah mau dateng. Kamu nggak lupa ada kuliah Teknik Radiografi, 'kan?" Begitu sambungan terputus, Randu bangkit dari duduknya.
Kekehan singkat terdengar, lalu Yuranita menyusul berdiri. "Kamu kali yang lupa, Ndu. Untung kepergok aku di balkon. Bisa-bisa, kamu malah terjun, terus nggak kuliah, deh!" Setelahnya, ia berlalu meninggalkan Randu.
"Eh, jangan dibahas terus! Ini rahasia illahi."
Dan, setelah ini Randu akan mencoba menjalani semuanya dengan ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]
De Todo🥇Juara 1 Event Cakra Serial Marathon Batch 03 🏅Best of Author 🏅Best of Message 🏅Best of Blurb Nilai biologi saja enggak pernah mencapai KKM, tetapi malah dipaksa kuliah di kampus kesehatan. Nasib apes sungguh melanda Randu Dwipangga. Niat hati i...