Chapter 7 -- Aorta

31 3 0
                                    

Entah kesambet setan apa, Randu memilih membuka modul mata kuliah Teknik Radiografi setebal 500 halaman. Padahal, waktu hampir mendekati tengah malam. Randu memang sengaja melakukan itu. Ia teringat oleh perkataan Yuranita soal semua yang terjadi sudah ada jalan takdirnya sendiri. Enggak hanya itu, seorang Dokter Baroto yang bisa menggabungkan antara nada dalam musik dengan sistem gerak tubuh, membuat Randu kagum sendiri. Ia ingin bisa memahami makna kehidupan lebih dalam.

Terlepas dari Randu ingin sekali menjadi musisi, lalu membuktikan pada ayahnya bahwa impiannya bukan hal yang remeh temeh, ia pun enggak mau menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Kesempatan berbenah diri serta mengurangi rasa egois dalam diri. Sebab enggak hanya impiannya yang harus terwujud, tetapi perkuliahan harus terus jalan sampai lulus. Meskipun begitu, Randu enggak mau mengecewakan kedua orang tuanya yang susah payah menguliahkannya di kampus kesehatan.

Berbekal nekat, Randu bertekad setiap semester nilai IP--nya meningkat. Seenggaknya, saat lulus nanti predikat cumlaude dapat dicapai olehnya

"Semangat, Ndu. Perjalananmu masih banyak. Selain jadi musisi, kamu juga harus berprestasi. Jangan mau kalah dari kakak-kakakmu. Insyaallah, kamu mampu!"

Randu menyemangati dirinya sendiri. Perlahan, ia membaca modul sambil merangkum poin penting ke dalam buku catatan lain. Kedua matanya pun bergerak ke sana kemari. Ditambah mulutnya komat-kamit.

Cukup lama belajar, hingga Randu ketiduran sampai azan subuh berkumandang. Ia sontak terbangun, lalu meregangkan tubuhnya. Tumpukan buku masih setia menemani di meja belajar minimalisnya. Randu menyunggingkan senyuman. Enggak menyangka, setelah sekian lama akhirnya dirinya bisa ambisius lagi. Kalau bukan gebrakan di hati, Randu enggak mungkin begini. Ia pasti memilih tidur saja.

Kegiatan belajarnya itu pun berlanjut di kampus. Tumben sekali bukan, Randu sok sibuk mempelajari banyak mata kuliah yang pernah diajarkan. Ia pun meminta Yuranita untuk mengajarkannya materi fisika radiasi tentang matrix. Seakan, Randu lupa soal otaknya yang berpentium satu.

"Jadi belajarnya, 'kan?" tanya Yuranita yang telah menunggu di dekat pintu perpustakaan. "Tapi, kok, mukamu kusut banget, Ndu? Jangan bilang semalam kamu habis begadang nonton anime? Atau, main game kayak cowok lain?" imbunya.

Randu menggaruk tengkuknya, lalu berdeham. "Eh, kamu enggak tau, ya? Aku, tuh, mending main gitar semalam suntuk daripada game, apalagi streaming anime," jelasnya, lalu memasukan kedua tangan ke saku celana.

Kedua matanya menyipit, Yuranita enggak langsung percaya apa yang diucapkan Randu barusan. Namanya cowok, mereka bisa kasih seribu alasan buat meluluhkan hati cewek, apalagi berbohong.

"Aku enggak percaya. Biasanya, cowok, tuh, banyak ngibulnya, Ndu!" Yuranita bersedekap.

Tentu, namanya cewek, mereka cenderung overthinking. Terkesan, penuh tuduhan. Padahal, mereka ingin membuktikan apa yang dipikirkan itu benar adanya. Kalau enggak, nanti pasti kepikiran semalaman.

Randu berdecak pelan. "Bodo amat, Ra. Kamu mau percaya atau enggak, sama sekali enggak ada untungnya buatku. Yuk, mending kita belajar sekarang." Setelahnya, Randu masuk duluan ke perpustakaan.

"Ih, kok, dia malah sewot!" Yuranita mencebik.

Ruangan di lantai dua menjadi tujuan utama Randu dan Yuranita. Di sana, terdapat meja khusus baca ataupun mengerjakan tugas. Letaknya di pertengahan dekat dengan tempat administrasi. Ruangan ini pun ilengkapi stop kontak yang menempel pada meja, serta WiFi free acces. Enggak lupa dinginnya AC membuat hawa sejuk terasa menenangkan.

"Oh, ya, Ndu. Aku ajak temen-temen, boleh, 'kan?" tanya Yuranita sambil mengeluarkan binder khusus untuk mencatat materi kuliah.

Randu menaikan kedua alisnya. "Boleh-boleh aja, tapi nggak satu desa diajak, toh?"

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang