─ 4. Father

1.8K 171 10
                                    

Aina ingin menangis saja, ini kenapa Anggita tidak datang-datang sih. Padahal jam sudah menunjukan pukul 7 malam. Balita itu sudah siap dengan penampilan yang lebih rapi, tas yang semula berisi perlengkapan hariannya kini menggemuk terisi uang.

"Mama mana cih" gumamnya. Bibirnya mencebik kesal.

"Ayi sayang, mama gabisa jemput. Jadi malam ini Ayi tidur dirumah papa ya" ucap Dexter yang barusaja datang, jangan lupakan senyuman lebarnya yang mengembang.

Bak disambar petir mata Aina terbelalak. Mimpi setan mana dia semalam, mama Anggita, kenapa kamu jahat meninggalkan gadis murni seperti Aina dikandang Dugong seorang diri.

Mungkin Aina harus menggunakan jurus terakhirnya.

"Tapi mama janti menajak Ayi te pacal mayam" matanya mulai berkeca-kaca.

Ugh menjijikan berakting cengeng begini. Tidak apa, hanya kali ini demi keselamatan hati. Kalau menetap disini yang ada hati Aina tambah kotor karena terus mengumpat.

"Pasar malam?" Dexter memastikan. Pria dewasa itu berjongkok guna mensejajarkan tinggi dengan anaknya. "Aina ingin pergi ke pasar malam".

Aina mengangguk kuat. "cama mama," tambahnya.

"Kalau sama papa?"

Aina menggeleng ribut. "Ayi uda Janti cama mama".

"Engga sama papa saja? Nanti papa belikan apapun yang Ayi mau disana"

"Ayok pa"

"???" Dexter mengerjab pelan. Dia memandangi tangan mungil Aina yang telah menggenggam jemarinya. Kemudian terkekeh. "Ayooo".

"Eh?"

"Kenapa? Ayi mau digendong?" Dexter mengulum senyum melihat anaknya yang tampak menggemaskan dengan ekspreksi berubah-ubah Aina.

Disisi Aina sendiri, gadis itu tiba-tiba teringat Rajendra. Haruskah dia ajak? Baru selangkah berbalik dia berhenti. Matanya mengerjab pelan menyadari hal penting yang dia lupakan; Rajendra pernah suka Aina.

Oh? Apakah karena masa kecil ini.

Kepalanya segera menggeleng ribut. Tidak boleh dibiarkan, tokoh-tokoh tipe Rajendra dibaikin dikit bisa baper over. Dia harus menghindari perasaan tidak perlu Rajendra.

Membayangkan seorang Rajendra suka dirinya saja sudah membuat merinding, memang apa yang akan dilakukan seorang Rajen selain membunuh orang yang disukai. Memikirkan itu, Aina jadi heran kenapa mental Rajendra bisa sesakit itu.

"Ayi, kamu butuh sesuatu?" Suara lembut Dexter menginterupsi pergulatan batinnya.

Aina menggeleng, opsi mengajak Rajendra bukanlah hal baik. Bahkan Aina harus menghindari intensitas percakapan yang terjadi diantara mereka. Hubungannya dengan Rajendra, kalau bisa, wajar saja. Seperti orang asing yang saling berpapasan dijalan.

"Ndaa, ayo pa tita pelji tetalang"





***

Aina tak suka Dexter. Itu point pertama. Alasannya? Entahlah dia juga tidak tahu. Mungkin karena mentalnya sudah lebih dulu trauma pada sosok ayah. Peran ayah terlalu pelik dihidupnya, figure yang bahkan tak Aina mengerti untuk apa menghadirkannya jika dibenci.

Terlebih sikap Dexter memperkuat rasa tidak sukanya. Katakan saja Aina abusive membenci tanpa alasan jelas.

Pandangan yang tak berubah meski sudah 16 tahun berlalu.


"Ma, aku berangkat ya"

Tangan Anggita bergerak meraba wajah Aina. Perempuan berdress putih gading itu tampak tersenyum lembut.

MANIACTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang