─ 5. truth

1.9K 177 28
                                    

"Gimana sekolah kamu,"

Aina meletakan piring berisi buah-buahan keatas nakas. "Baik."

Posisinya kini duduk dipinggir kasur. Dia mulai menyuapkan buah kemulutnya, mengunyahnya dengan santai. Sudah hampir satu jam dia menemani Dexter disini.

"Aina," panggil Dexter dengan nada pelan.

Aina berdehem sebagai jawaban, gadis itu sibuk bertukar pesan dengan Beca, teman sekolahnya. Tak mendapati suara lagi, ia mendongak. Dilihatnya sang papa yang tengah menatapnya sendu.

"Kenapa pa?" Bingungnya.

"Apa kamu benci sama papa?"

Aina diam. Tak lantas menjawab. Mulutnya yang masih belum tuntas mengunyah berhenti mendadak. Raut Aina berubah kosong.

Benci ya? Entahlah Aina juga tak dapat mengakuratkan sebagai benci.

Selama ini Dexter sangat baik padanya.

Jadi apa pantas bila Aina mengatakan dia benci sedangkan kebaikan itu sendiri terpampang jelas. Terlepas penghianatan pada Anggita.

Yang disakiti kan Anggita, tapi Aina adalah anaknya, tentu dia korban juga. Dia jadi bingung sendiri.






"Berapa usiamu sekarang, mau tujuh belas ya. Apa kamu bahagia? -Ayi gaperlu jawab pertanyaan papa. Papa cuma mau tau kalau Ayi bahagia." Dexter tampak tersenyum ditengah kondisi lemahnya. Selang infus yang tertancap dipunggung tangan ikut bergoyang saat sang empu melakukan pergerakan.

Aina masih geming. Perasaannya sedikit campur aduk sekarang. Disatu sisi dia ingin membantah tapi sisi lain membenarkan.

"Nanti saat usiamu tujuh belas, kamu bisa jemput ini," Dexter menyerahkan sebuah kotak kecil kepangkuan Aina.  Lelaki berkepala empat itu tersenyum, menunggu dengan sabar putrinya membuka kado tersebut.

"Pa .. ini" Aina menatap Dexter tercengang. Dia dikasih mobil, agak berlebihan reaksinya. Tapi masalahnya mobil yang diberi Dexter adalah mobil yang selama ini ia impikan. Dari kuncinya saja Aina sudah dapat menebak.

"Papa sayang sekali sama Ayi."

Suasana mellow makin melanda.

"Bisa tolong Ayi peluk papa?"

Seolah merespon, tubuh Aina bergerak sendiri mendekat kearah Dexter. Bisa Aina rasakan tangan lemah Dexter mendekapnya. Tanpa dapat dicegah, air mata yang daritadi berusaha disangkal jatuh berlomba.

Aina tak suka ini. Seolah...

"Maafin papa. Papa menyesal."

...seolah akan pergi jauh.












***












Sudah berapa hari Aina menetap?

Nyaris seminggu disini tak begitu terasa baginya, jelas karena waktu terasa cepat bagi Aina yang dilingkupi perasaan takut kehilangan.

Setiap harinya dia akan bangun dengan perasaan takut.

Ini buruk.

Apalagi ketika menginjak hari ulang tahunnya, dia terus panik sepanjang waktu.

Panik karena pada pukul 3 dini hari kondisi Dexter drop. Dia berdiri gamang didepan sana sendirian, merasa kecil karena pintu besar didepan seakan menantang kesiapannya kehilangan.

MANIACTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang