─ 6. young

2K 196 13
                                    

An. Main game yuk!
Rulesnya kalian vote aku
update.


Mendungnya langit menjadi latar suasana suram hari ini. Ranting-rainting dari pohon sekitar meranggas, pun dedaunan kuning yang tak lagi sanggup terikat berjatuhan terembus angin.

Suasana sedih masih menyelimuti pemakaman siang ini. Disamping nisan Dexter sosok Aina bersimpuh.

Matanya telah bengkak karena lelah menangis. Pandangannya kosong.

Sekeras apapun dia memberitahu dan meyakinkan orang-orang tentang kejahatan Rajendra, mereka tak akan percaya. Bahkan Athala sekalipun. Pemuda itu terkenal dengan image baik dikalangan publik. Pangeran Maharta yang berhati malaikat . Cih, Aina ingin muntah mendengar julukan itu.

"Aina, saya akan pulang sekarang." Suara Wanda mengalun bagai kaset rusak digendang telinganya.

Aina hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari gundukan tanah basah itu.

Sesaat ekspreksi Wanda berubah keruh. Namun dia kembali mengontrolnya, masih ada beberapa pelayat disini.

"Kalau begitu, biar Rajendra yang akan temani kamu" ujarnya. Hei, Wanda tak mau dicap sebagai ibu tiri yang buruk oleh publik.

"Gausah. Aku. Mau. Sendiri." Ucapnya penuh penekanan.

Wanda tersenyum kikuk.

Selepas kepergian Wanda, Aina masih betah disana. Dia ingin kembali menangis jika dibiarkan lengang begini. Penyesalannya masih baru, wajar jika dia terus teringat.

Pemakaman khusus keluarga ini terletak di pinggiran kota, tepatnya lahan luas yang dikelilingi pohon pinus berukuran besar. Aina sedikit tak paham, apakah pemakaman orang kaya memang sewah ini.

Mereka sampai mendirikan tenda khusus untuk para pelayat, tenda yang lebih mirip ruang jamuan karena dekorasinya. Kata salah seorang maid, itu dilakukan untuk melepas kepergian Dexter. Padahal yang dilihat Aina disana- mereka tengah menjadikan acara pemakaman ini sebagai ajang memperluas koneksi bisnis.

"Dengan mba Aina Maharta?"

Aina menatap skeptis pada dua orang lelaki dewasa disana.

"Saya mewakili perusahaan turut berduka cita atas kepergian Mr. Maharta." Ujarnya sopan. Aina tak merespon, tatapannya terlihat malas. "Ah begini, kami dari stasiun TV. Apa mba bisa meluangkan waktu untuk melakukan wawancara sebentar dengan kami-

Drtt

Aina segera mengangkat telefon yang ternyata berasal dari Anggita. Mungkin ingin menanyakan kabar, pikirnya.

"Halo, ma" Sapanya.

"Hai"

Kerutan samar muncul didahinya. Aina menjauhkan benda pipih itu dari telinganya, matanya tak rabun untuk melihat icon panggilan tersambung dengan Anggita. Namun kenapa yang menyahut suara berat lelaki. Itu jelas bukan suara Athala. Karena om nya itu masih berada disini, berbincang dengan rekan bisnis.

"Siapa?" Tanya Aina tanpa basa basi.

"Selamat siang mas Rajen,"

Suara reporter itu mengalihkan fokus Aina. Gadis itu menurunkan handphone nya perlahan.

Rajendra tampak berbincang sebentar dengan dua reporter itu, entah apa yang mereka bicarakan. Aina hanya fokus pada ponsel Anggita yang berada ditangan pemuda itu.

"Baik, nanti kita bicarakan lagi."

Pembicaraan berakhir dengan reporter yang melangkah menjauh.

"Dimana mama gue"

MANIACTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang