2. Jisoo

167 19 2
                                    

Jangan lupa vote & komentar, ty!

***

Sabtu, 20 April, pukul 19.30

Aku masih berdiri di depan lemari pakaian yang terbuka lebar. Harusnya mudah. Biasanya juga mudah. Tidak perlu pilih-pilih. Ambil dan pakai, selesai perkara. Di luar seragam sekolah, aku hanya punya tiga lembar t-shirt putih, abu-abu, dan hitam, lalu tiga buah hoodie putih, abu-abu, dan hitam, kemudian tiga celana panjang dengan warna yang sama seperti hoodie. Itu saja bisa jadi 27 setelan dengan kombinasi berbeda. Praktis.

Sebenarnya, Tante Jess punya banyak baju yang bisa diwariskan kepadaku, tetapi sebagus apa pun, tidak bisa aku terima. Benda-benda warisan menyimpan kenangan pribadi pemiliknya. Aku tidak mau membawa beban itu di tubuhku. Sangat ironis ketika aku hidup di panti asuhan dulu, di mana baju baru identik dengan baju bekas layak pakai.

Ya, orang lain memulai kisah hidup dengan kelahiran. Aku, terjaga pada suatu hari, di usia sekitar tujuh tahun, dengan tangan ajaib atau tangan terkutuk, tergantung dari sudut mana kau memandangnya. Lini masa sebelumnya gelap total, tidak ada di memoriku. Aku tidak ingat. Jackson Oppa⸺kembaran Tante Jess⸺yang menemukanku pun tidak tahu.

Lokasi temuan pun tidak memberikan petunjuk berarti. Tante Jess pernah coba menggali, tetapi tetap buntu. Sudahlah, tinggalkan masa lalu. Mulai saja riwayat hidupku dari panti asuhan, lalu diangkat anak oleh Jackson Oppa, hingga detik ini.

Aku mendesah lelah. Ah, pikiran melantur tidak menyelesaikan masalahku sekarang. Masih ada waktu setengah jam sebelum bertemu Jisoo. Kenapa juga harus dilewatkan dengan menggalau soal pakaian dan asal-usul? Kalau dilihat, penampilanku sudah oke. Apa yang membuatku ragu?

Jawaban dari lubuk hati mengejutkan diriku sendiri. Aku ingin memberikan kesan baik agar Jisoo menganggapku layak membantu menyelidiki kasus Lisa ... layak menapak tilas kenangan yang ditinggalkan olehnya.

Kenangan yang ditinggalkan olehnya ....

Aku sudah punya beberapa! Kuambil kotak kaleng dari kolong dipan. Kenangan yang ditinggalkan Lisa untukku ... selama ini ... ada di dalam treasure box ini. Senyumku merekah, tapi langsung terhapus oleh tusukan rasa sesal. Segera kukembalikan kotak itu ke tempatnya tanpa kubuka. Aku keluar dari kamar.

Lima bekas menit lebih awal, aku sampai di warung itu. Warung yang lebih tepat disebut restoran setelah populer di kalangan siswa BIHS. Masih puncak-puncaknya jam makan malam, sehingga tidak ada meja kosong. Aku keluar lagi melalui pintu samping dan ada bangku untuk yang menunggu giliran dilayani. Di sanalah gadis itu berdiri sendirian, berbicara di ponselnya.

Sepatu kets, jeans, kaus, dan jaket parka khaki. Tangan yang bebas masuk ke sak jaket. Rambutnya lebih rapi dibanding sore tadi di kantor polisi. Ekspresinya ... aku menduga ia berbicara dengan seseorang yang sangat dihormati.

Lagi, aku terkena demam pertanyaan. Apa yang akan kukatakan padanya dan bagaimana? Serius, Jennie, kau harus mulai berpikir sebelum bertindak! Kali ini, kalau salah bicara, kau tidak akan mendapatkan kesempatan lagi! batinku.

Jisoo memandangku sesaat, mungkin mengenaliku, lalu berbicara lagi di ponsel. "Saya mengeri. Terima kasih, Mommy. Selamat malam." Ia memasukkan ponselnya ke saku sambil berjalan ke arahku. Dari dekat, kuperhatikan tingginya sekitar 162 cm karena dia tidak lebih tinggi dariku. Sepertinya beda satu sentimeter. Ia tampak ragu.

"Jisoo Unnie ... aku Jennie, kelas 12 BIHS," kataku buru-buru.

"Panggil Jisoo saja, Jennie, kau hanya satu tahun di bawahku." Ia menjulurkan tangan.

Aku tertegun. Ajakan bersalaman selalu dilematis buatku. Tetap memakai sarung tangan bikin orang mengernyit heran, penasaran, atau langsung menghakimi. Namun, kalau kutolak, orang akan tersinggung dan langsung menghakimi. Lepas sarung tangan kanan? Aku 'kesetrum' dan orang langsung menghakimi. Pakai tangan kiri kayak kidal? Orang juga akan langsung menghakimi.

RUBY : From Your Death (JENLISA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang