Minggu, 21 April, pukul 20.00
"Oh, don't touch it!" Rose menyambar tasnya, memeluknya erat-erat.
"Tasmu hampir jatuh, aku mau dorong ke tengah," kataku. Lalu sadar sendiri, tangan kananku masih telanjang dan Rose mendelik ke arahnya. "Oke. Aku tidak akan baca kenanganmu lagi. Kau sudah percaya."
Rose menatapku sesaat, seperti penasaran, apa saja yang berhasil kuketahui. Aku angkat bahu dan Ia berdecak. "Jauh-jauh saja dariku. Jangan pegang-pegang juga waktu aku tidur nanti." Lalu ia pindah ke ruang duduk, mengempaskan diri di samping Jisoo yang sedang mengerjakan tugas.
Aku tertawa kecil, sama sekali tidak tersinggung dengan sikapnya. Mungkin karena aku sudah mendengar sendiri, ia ditolak Lisa, jadi aku tidak perlu cemburu lagi pada Rose. Aku malah jadi iba pada gadis itu. Lubang di dadanya pasti sangat besar, karena ia dekat dengan Lisa sepanjang hidupnya. Satu-satunya yang bisa menambal lubang itu adalah sahabatnya yang tersisa, Jisoo.
Entah, gadis itu paham atau tidak sindiranku pada Rose, tapi kalaupun Jisoo tahu orang yang dimaksud Lisa adalah dirinya, ia justru memilih membenamkan muka pada layar laptop.
"Mereka harus move on," kata Lisa gemas.
"Kenapa tidak kau comblangin saja mereka?" Terlalu bersemangat, aku sampai menyuarakan percakapan kami. Oh no ....
Jisoo menoleh. Jarak dari ruang duduk ke dapur untungnya cukup jauh. "Kau bilang apa, Jen? Disuruh tidur lagi kok malah ngedumel sendiri di situ."
Saat itu juga aku berpikir, move on dan perjodohan tidak akan terjadi selama mereka masih dibayang-bayangi Lisa. Sudah waktunya membicarakan hal ini secara terbuka. Lisa percaya pada kedua sahabatnya dan aku percaya pada Jisoo. "Sebetulnya, aku barusan berbicara dengan Lisa."
Bunyi goresan bolpoin dan ketukan keyboard serempak berhenti. Pandangan mereka mengikutiku mendekat. Ekspresi di wajah Rose dan Jisoo adalah kaget bercampur khawatir.
"Sudah jelas, Lisa hadir di antara kita, tapi perwujudan Lisaku dan Lisa kalian berdua sepertinya berbeda. Aku perlu jelaskan ini, agar kalian tidak salah paham. Kemampuanku adalah membaca kenangan yang tertinggal pada benda-benda. Aku tidak bisa lihat arwah, apalagi berkomunikasi dengan mereka. Aku pernah diperiksa oleh orang-orang pintar, tidak ada hal-hal gaib di dalam diriku. Disimpulkan, kemampuanku berkaitan dengan susunan dan fungsi otakku yang sedikit berbeda dengan kebanyakan. Sayangnya belum ada penjelasan memadai, karena ilmu tentang otak masih sangat terbatas."
Aku berhenti sebentar untuk mengamati reaksi Jisoo dan Rose. Tampaknya mereka mengerti, lalu kulanjutkan. "Lisa versiku serupa puzzle yang kususun dari setiap keping kenangan. Lalu kuhidupkan dia di dalam pikiranku. Aku bisa bicara dengannya, lihat dia bergerak, tahu pemikiran dan perasaannya."
Rose terbelalak. "Seperti teman khayalan? Kau kayak anak kecil yang mengaku ditemani kelinci yang bisa bicara?"
"Ya, bisa dibilang begitu." Tentu saja, Lisa jauh lebih keren ketimbang kelinci pink teman minum teh.
"Jadi, itu sebabnya kau bicara tidak nyambung atau senyum-senyum sendiri?"
"Tidak sendiri, Jisoo, aku berbicara dengan Lisa," tegasku, menunjuk kepala sendiri. "Apartemen ini menyimpan banyak sekali kenangan Lisa, aku jadi semakin kenal karakternya, tahu apa yang akan dia bilang dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, aku tidak perlu berpikir lagi. Lisa bisa spontan menanggapi situasi."
Keduanya saling berpandangan. "Lisa di kepalanya bicara dan bertindak berdasarkan kesimpulan Jennie," kata Jisoo kepada Rose yang menggeleng-geleng.
"Oke. Mungkin perlu contoh agar lebih jelas." Aku mengedarkan pandangan dan menemukan koleksi CD musik Lisa berantakan di depan televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBY : From Your Death (JENLISA)
FanfictionSeorang gadis dengan kemampuan psikometri. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang gadis lainnya yang luput dari kematian. Dan sebuah janji untuk saling menjaga. Ini cerita keduaku. Enjoy! Genre : Fanfic, Fantasy, Romance Publish : 20 April 2024