3. She was Here

148 17 2
                                    

Jangan lupa vote & komentar, ty!

***

Sabtu, 20 April, pukul 20.45

Kami berdiri di tempat parkir, menghadap ke seberang jalan, pada kompleks BIHS. Gerbang utamanya sudah tutup. Lampu-lampu yang berselang-seling dengan pohon menerangi sepanjang jalan masuk. Pada bagian depan berdiri bangunan rendah playgroup, TK, dan SD, lalu di belakangnya menjulang gedung-gedung empat lantai SMP dan SMA.

Jisoo memainkan kunci mobil. Tadi ia sudah pamitan, karena besok pagi-pagi sekali hendak ke Seoul, sedangkan dari Daegu lumayan membutuhkan waktu hampir tiga jam jika tidak macet. Kami sudah bertukar nomor ponsel dan berjanji untuk saling update. Aku sudah menjabat tangannya lagi. Berfokus mencari kenangan tentang Lisa di menit-menit terakhir.

Dalam tiga detik, aku mendapatkan penggalan memori saat Jisoo dirawat di rumah sakit dan Lisa menjenguknya, mengiming-imingi dua kembar tiket konser. Rasa penyesalan Jisoo saat itu begitu kuat, masih kurasakan sampai sekarang, membaur dengan penyesalanku sendiri.

"Jen!" Jisoo melambaikan tangan di depan mataku. "Apa yang kau lihat?"

Aku menunjuk ke seberang dengan daguku. "Dua tahun satu sekolah, aku tidak berani mendekati Lisa. Sekarang, aku ingin benar-benar mengenalnya, tapi tidak mungkin lagi," kataku melirih.

"SMA, masa terbaik kami. Belum setahun aku tinggalkan, jadi masih banyak yang segar dalam ingatan. Kau tidak keberatan mengenal Lisa lewat aku?" Jisoo mengantongi kunci mobil dan mengulurkan tangan. "Mari ...."

Aku tercengang. Apa maksud Jisoo? Mengenal Lisa lewat tangannya? Jangan-jangan Jisoo menyadari proses penyadapan kenangan yang kulakukan?

"Kau ragu? Ya, kau akan tambah menyesal sih, tapi lebih baik, daripada tidak kenal sama sekali. Akan kuceritakan langsung dari tempatnya." Jisoo mengambil tangan kiriku, membawaku menyeberang jalan.

Ah, aku salah kira. Ia mengajakku masuk ke kompleks sekolah melalui pintu samping. Kami menyusuri jalan setapak yang berbatasan dengan kebun-kebun penduduk sekitar. Sepatuku menimbulkan bunyi berdesik di rerumputan basah. Beberapa kali gadis itu menoleh untuk memastikan aku tidak tertinggal. Walaupun lebih pendek dariku, ternyata langkahnya lumayan cepat.

Angin malam yang lembab menembus hoodie, mendinginkan tubuhku yang berkeringat karena semangat ingin mendengar cerita tentang Lisa. Namun, aku jadi waswas, hujan bisa tiba-tiba turun dan mengacaukan momen ini.

Akses dari pintu samping sebenarnya sudah ditutup dengan tumpukan bata, tapi rantai pada pintu gerbang longgar, bisa didorong dan kami menyusup masuk dari celahnya. Kami kemudian menyusuri sungai kecil hingga ke belakang gedung SMA. Menyeberangi jembatan, tempat Jin dan kawan-kawannya nongkrong sore tadi. Kuikuti Jisoo memutari gedung. Sekarang jelas tujuannya adalah lapangan basket.

Tentu saja. Tempat yang sangat bersejarah. Lisa adalah kapten basket wanita di BIHS dan Jisoo pengatur strategi tim. Lisa dan Jisoo menjadi pasangan ikonik kekompakan dan kemenangan.

Jisoo mengajakku duduk di bangku pemain. Dari sini aku dapat melihat dengan jelas jendela kelima lantai dua SMA. Bukan jendela kelas, melainkan ruang kontrol AC. Jendela itu tempat favoritku menonton tim basket berlatih. Aku memperhatikan Lisa dengan leluasa. Alih-alih berdesakan dengan para pengagum Lisa di pinggir lapangan. Setelah Lisa lulus, aku tidak pernah lagi memasuki ruangan itu. Duduk di sini sekarang, untuk pertama kalinya aku menyadari, bahwa aku bisa melihat lapangan dengan jelas dari atas, berarti Lisa dan timnya bisa melihatku di jendela itu dengan jelas pula. Oh, ya ampun, ya ampun!

Desahan Jisoo menbuatku menoleh kepadanya. Gadis itu tengah menunduk. "Duduk di sini membuatku berharap Lisa muncul dari ruang ganti dan berteriak padaku, mau pinjam handuk. Lisa suka lupa bawa. Aku biasa bawakan handuk cadangan untuknya."

RUBY : From Your Death (JENLISA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang