Senin, 22 April, pukul 14.00
Kuda putih yang dimaksudnya adalah sedan tua putih yang sudah tidak putih lagi. Baju zirahnya berupa kaus putih dan jaket denim belel. Jackson Oppa melambaikan tangan di tempat parkir. Ranselku memukul-mukul punggung saat aku berlari, berat dengan buku dan baju. Aku menuruni tanah miring dan melompati pagar tanaman rendah karena lebih cepat sampai daripada mengikuti jalan normal.
"Jennie!" Ia merentangkan kedua tangan.
"Oppa!" Aku berlari ke dalam pelukannya. Menikmati sensasi drama di dunia nyata.
Jackson Oppa mengangkatku sambil berputar sekali. "Kau tambah berat...."
Aku melepaskan diri. "Jackson Oppa yang tambah tua!"
"Aku masih sembilan belas, terakhir kali kuhitung." Ia membukakan pintu mobil.
"Ya, sepuluh tahun lalu." Aku masuk, melemparkan ranselku ke kursi belakang.
Jackson Oppa menyusul, duduk di belakang kemudi, lalu memandangku dengan cengiran lebar. Kumis, cambang, dan jenggotnya sudah tumbuh lagi. Pasti tidak sempat bercukur di lokasi penelitian, tapi aku suka kesan macho dan sangar yang ditampilkannya. Memberi rasa aman. Meski matanya tidak bisa menipu siapa pun yang memandang ke dalamannya, Jackson Oppa selembut kelinci betina.
"What? Ada yang salah?" Ia mulai salah tingkah aku pandangi sedemikian rupa. Aku menggeleng, tersenyum.
Jackson Oppa menepuk-nepuk kepalaku. "It's so good to see you again. Kau sudah berubah banyak. Beda sekali dengan di video call."
Aku nyaris mengiyakan. Karena rasanya memang sudah lama sekali, tapi aku sadar, Lisa yang sudah membuat waktuku terasa lebih cepat berlalu. "Baru juga empat hari lalu kita teleponan."
Jackson Oppa menjalankan mobil keluar dari pelataran parkir. "Ya, empat hari juga bisa bikin beda. Itu contohnya, matamu sekarang sembap. Ada pria yang membuatmu menangis, ya? Siapa dia? Sebutkan namanya, alamatnya, anak siapa, nomor ponselnya juga. Apakah dia pernah digantung terbalik di pohon kersen atau ditenggelamkan di empang lele? Atau dia lebih memilih ketemu Jess? Jess bisa sewa sel 2x24 jam⸺"
Gelakku lepas. "Aku belum minta izin guru piket, Oppa. Ini sungguhan bolos."
"Siapa namanya, Jen?"
"Tapi Jackson Oppa pasti sudah kontak Miss Alice. Iya, 'kan? Sudah kuduga!"
"Pintar tidak?"
"Mau berapa lama di sini, Oppa? Jangan bilang cuma mampir sehari, terus lanjut ke Busan! Kalau benar begitu, turunkan aku di kosan saja. Percuma. Padahal Tante Jess sudah terlanjur ambil cuti."
"Tumben sekali kau menangis karena pria. Kau sangat menyukainya, ya?"
"Apakah Oppa tidak sadar aku sudah lepas sarung tangan waktu memeluk Oppa?"
"Jelas pria bodoh kalau bikin kau menangis."
"Jackson Oppa tadi bersama wanita cantik di bandara. Meminum kopi bersama dia. Tidak langsung ke rumah."
"Ini pria pertama, kan, Jen? Jess sudah tahu?"
"Itu wanita ke berapa, Oppa? Tante Jess sudah tahu?"
Tangan kirinya terulur untuk menjitakku. Aku tergelak lagi. Bangga telah berhasil membuat Jackson Oppa kehilangan kata.
"Serius, Oppa, bagaimana dengan Yuqi Unnie? Putus lagi?" Aku benar-benar prihatin. Jackson Oppa dengan kesukaannya bertualang, susah menjalin hubungan mapan. Padahal salah satu syarat hukum menjadi ayah angkat adalah sudah berkeluarga, minimal lima tahun. Hanya karena punya koneksi di lembaga berwenang, ia bisa mengadopsi aku, tapi suatu saat statusnya bisa dipermasalahkan. Aku khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBY : From Your Death (JENLISA)
FanfictionSeorang gadis dengan kemampuan psikometri. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang gadis lainnya yang luput dari kematian. Dan sebuah janji untuk saling menjaga. Ini cerita keduaku. Enjoy! Genre : Fanfic, Fantasy, Romance Publish : 20 April 2024