Confrontation

36.5K 4K 856
                                    

DEWATA

Dewa menatap langit yang tampak kelabu di luar sana, sebelum melihat pantulan wajahnya sekilas di kaca jendela. Mukanya membuat ekspresi seram seperti biasa—bukan salah dia kalau sekolah nggak masuk daftar tempat favoritnya kan? Dia mendengus, memejamkan mata sembari memijat pelipis kanan, rada pening.

Pasti nanti hujan lagi. Bagus.

Setengah geram lantaran terkaannya cuma punya kemungkinan 19% untuk meleset, Dewa mengeluarkan buku untuk mapel pertama dari laci bangkunya.

Oh ya. Apa dia sudah bilang dia juga benci Matematika?

Cowok rambut hitam itu menghela nafas. Harinya nggak bisa lebih buruk dari ini kan?

"Hei."

Seseorang berdiri di sisi mejanya, membuat Dewa mendongak. Of course it could be worse. Sudah 17 tahun dia hidup dan bernafas, harusnya dia mengerti dan paham untuk nggak asal memberi 'tantangan' macam tadi ke Tuhan. Dia melengos setelah melihat siapa yang datang.

"Ren."

Renaro Bramansyah, the biggest douchebag at school. Mungkin juga sekalian menyandang titel the biggest idiot? Dewa menopang dagu di telapak tangan, melirik untuk menginspeksi lebih jauh teman sekelasnya dari balik sela-sela rambut. Cowok blasteran Indo-Belanda di sisi mejanya bersungut-sungut, matanya melirik kesana-kemari dengan gelisah.

Dewa mengangkat alis, bosan.

"Lo mau ngomong atau apa?" akhirnya dia bertanya.

Ren memicingkan mata, dua baris gigi beradu sebelum menggeram. "Ya sante, ini gua lagi mikir juga!"

Dewa memutar bola mata. Siapa yang nggak nyantai sekarang? Otak udang.

"Lu ada acara ntar sore?" tanya Ren setelah tiga detik.

Dewa tak menjawab, hanya menatap datar sambil menguap.

Ren mendengus frustasi. "Lu punya enggak??" desaknya.

"Acara gue nggak ada urusannya sama lo," jawab Dewa malas, sudah menggelosor di atas meja.

Ren mendelik. "Ya ada lah! Gua pengen ngajak lu nongkrong ntar!"

Dan Dewa bukan anak yang bodoh. Dia mendapat predikat murid teladan nggak cuma untuk IQ 150 saja—dia juga bisa mengobservasi lingkungan, menganalisis perilaku dan menghubungkan semuanya jadi satu laporan skripsi, lengkap dengan jenis approach dan metode yang digunakan, variasi sampel berbeda, apalagi kayak manusia macam Ren.

Jadi setelah melirik cepat antara muka Ren yang mulai memerah, salah satu anggota geng Ren (siapa namanya? Juki? Joko? Ugh, Dewa punya masalah dengan menghubungkan nama orang dengan wajah mereka) yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik Ren dari bangku depan, Dewa menarik tubuhnya dan memasukkan tangan ke saku jaket, sebelum menyandarkan punggung pada kursi.

Dia memiringkan kepala ke kanan.

"Lo kena tantangan apa lagi kali ini, hah?" 

Ren cemberut. "Bukan urusan lu."

Ujung bibir Dewa hampir terangkat. Busted.

"Oh, oke," cowok itu mengangkat bahu. "Ya udah sana, hus."

"AAAAARGH!" Ren menjambak rambut pirangnya sendiri, gemas setengah mati. "OKE! Gua bakal cerita nanti pas nongkrong, deal?" dia menyodorkan tangan, ngajak salaman.

Dewa menatap tangan Ren yang terulur, jemari kurus panjang dihias tiga cincin perak setipis benang, berpikir. Dia selalu penasaran, apa isi kepala anak macam Ren? Apakah teori kalau preman sekolah selalu berotak udang itu benar? Juga pepatah tong kosong nyaring bunyinya berlaku untuk mereka?

I Don't Give a Fuck [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang