RENARO
Langit terlihat mendung siang itu. Nggak ada tanda-tanda matahari bakal muncul lagi, walau jarum jam masih ada di angka satu. Ren mengintip keluar dari jendela kamarnya, masih terbaring di atas kasur super besar di kamar yang kelewat luas. Biasanya ruangan 15x15 meter itu bisa cukup terang tiap kali cuaca di luar cerah. Sekarang, dia harus merasakan dingin dari AC kamar, juga dari hujan yang mulai turun perlahan. Suara rintik membuat Ren menutup mata, mendadak teringat lagi dengan kejadian kemarin di UKS sekolah.
Pelan tapi pasti, pipinya menghangat.
Dia tahu seharusnya membuat ikatan seperti itu―hal semacam pertemanan, pasangan, keluarga dan lainnya, bakal ada tanggal kadaluarsanya. Entah itu oleh pertengkaran, backstabbing, cerai, sampai mati itu sendiri. Atau kalau dia lagi sial, dari awal sudah dapat yang busuk sekalian, seperti Bram cs.
Ren hampir lupa seperti apa pertemuannya dengan mereka. Dulu awal kelas sepuluh, dia bukan siapa-siapa―cuma anak kuper yang kehadirannya bahkan nggak terdeteksi.
Kemudian ayahnya ikut campur dengan sekolah, dan bam! Guru-guru mulai bermanis muka dan anak-anak juga rajin menyapanya. Ren bisa apa? Dia nggak pernah dapat perhatian sebesar itu, bahkan dari sang ayah. Sekalinya saja ada, itu juga dengan tujuan tertentu.
Tapi dia nggak keberatan bermain-main sebentar.
Maka dari itu ketika Bram mengajaknya masuk ke geng mereka, dengan cepat dia beradaptasi dengan gaya hidup yang baru dan boros. Dia berusaha loyal dengan memfasilitasi hampir semua yang mereka perlukan, sampai dia terlena dengan status yang ia dapat, dan melupakan seperti apa sejatinya manusia macam mereka.
Dan BOOM! Kenyataan meledak tepat di mukanya, membuat dia jatuh dan sekarat.
Tapi, sekali lagi,
dia bisa apa?
Kemudian Dewata Pratama.
Ren masih nggak yakin apa tujuan cowok itu. Dia nggak senaif itu, hei, untuk tahu kalau orang ada di dekatnya dengan maksud terselubung. Dewa bukan tipe lintah yang memintanya mengeluarkan uang untuk apa saja, dan dia jelas bukan tipe muka dua yang memujinya di depan tapi membicarakannya di belakang.
Itu membuat Ren sedikit takut. Selain harta dan status, apa lagi yang bisa orang dapatkan dari dia?
Mata Ren terbuka perlahan, memandang lagi langit yang kini sudah menggelap sempurna dengan mendung dan malam, membuatnya ingat pada sepasang manik mata dengan warna serupa. Sure, sosok Dewa yang tiba-tiba hadir cukup mengkhawatirkan, tapi sejauh ini Ren belum menemukan alasan untuk membencinya. Sebaliknya, kalau boleh jujur, dia malah makin suka, karena bisa mendapat guyuran 'kasih sayang' yang begitu jarang. Mungkin dia harus menikmatinya sesekali.
Sebelum di akhir nanti, tepat setelah ledakan ketiga, hatinya bakal benar-benar mati.
DEWATA
Dewa berhenti mengetik sejenak. Jemarinya menggantung di atas keyboard laptop, kemudian membenarkan kacamatanya yang setengah melorot. Grafik yang dia buat untuk menunjukkan berbagai tingkat emosi Renaro Bramansyah benar-benar berantakan. Terlalu banyak faktor tak tetap, ditambah dirinya sendiri sekarang, yang kemarin nggak ada angin nggak ada hujan main tembak si rambut pirang.
Dia mengernyit. Haruskah dia lanjutkan penelitiannya?
Tapi kalau dia berhenti, artinya Ren juga harus dia buang?
Kemudian ponselnya berdering keras. Dewa menghela nafas, menggeser kursi belajar berodanya ke arah tempat tidur dan menyambar sang hape.
Dia melihat caller's ID, lalu mengangkat alis.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Give a Fuck [in ed.]
Roman d'amourRenaro Bramansyah kena dare buat naklukin cowok aseksual super cuek yang ngebetein abis di kelasnya. Yah, lantaran kalo dia kalah predikat playboynya bakal kecabut, dia oke-in aja. °°° Dewata Pratama bukannya ansos atau gimana. Dia cuma nggak ngerti...