DEWATA
Dewa memperhatikan tiap langkah yang Ren ambil, begitu si pirang memasuki kelas dengan tergesa dan ekspresi aneh. Dia nggak mempedulikan protesan beberapa anak yang bahunya dia tabrak, bahkan, kontradiktif dengan tatapan matanya yang terlihat cemas dan merasa bersalah.
"Tama, lu pasti kaget denger berita ini!" seru Ren sedetik setelah menghempaskan dirinya di bangku sebelah Dewa. "Bram sama anak-anak nggak masuk semua! Gua denger dari ketlas XIC IPA mereka masuk rumah sakit, entah habis ketabrak atau apa."
Dalam hati, Dewa mengerang. Sepupunya itu nggak main-main ternyata. Berhubung Ren harus benar-benar clueless tentang semua ini, dia memaksakan senyum yang lebih mirip ringisan.
"Uh, bagus dong?"
Ren malah memukul bahunya. "Wanda! Gimana kalau ada apa-apa sama dia juga??"
Ah benar. Dia lupa bilang kalau si rambut cokelat nggak masuk bukan gara-gara 'kecelakaan' juga... tsk.
"Ntar habis pulang skul gua nebeng lu ya? Gua pengen njenguk Wanda andaikata dia ada di rumah sakit juga."
"Wanda enggak ada," Dewa mengangkat bahu, memilih untuk jujur. "Kemarin Andi sepupu gue telpon, Wanda mampir ke toko buku punya dia, babak belur habis dihajar Bram sama anak-anak."
Wajah Ren memucat horor. "D-dihajar?"
Dewa mengangguk. "Sebenernya gue nggak boleh cerita ke elo atas permintaan Andi, tapi mau gimana, kan elo juga temennya Wanda."
Ren menggigit bibir bawahnya. "Jadi... jadi kemaren Bram udah tahu kalo...?"
Dewa mengangguk. Tanpa ia duga, Ren menghantamkan dahinya ke atas meja, dengan keras, membuat beberapa anak sampai latah kaget dan menatap ke arah mereka. Dewa sendiri terkejut. Kalau otak Ren tambah terguncang gimana coba?
"Ren!" serunya, berusaha menghentikan usaha si rambut pirang bunuh diri lagi. "Oi! Ini bukan salah lo juga!"
"T-tapi gua nggak ada di sana buat belain Wanda," Ren menatap penuh penyesalan, wajahnya sudah memerah. "K-kalo dia mati...?"
Dewa menggeleng. "Gue rasa nyawanya masih ada kok walau kata Andi tulangnya ada yang retak—ASTAGA SETOP, RENA."
Dia menarik Ren menjauh dari meja, merangkul bahu anak itu sebelum dahinya mendarat lagi di permukaan keras meja. "Kita ke rumah Andi ntar sore, oke? Gue rasa lo masih butuh otak lo buat pelajarannya Pak Kus habis ini, tahan men."
Walau masih tampak kesal dan sedih, Ren menuruti perkataannya. Sisa jam di sekolah hari itu mereka habiskan dalam diam. Dewa secara sembunyi-sembunyi mengirimkan pesan ke Andira bahwa mereka bakal datang ke rumahnya untuk Wanda. Dia nggak peduli Andira mau marah atau apa―sepupunya nggak berhak ngatur dia juga lagian.
WANDARU
Ketika Wanda membuka mata, dia nggak bisa melihat jelas apa yang ada di depannya. Begitu jemarinya bergerak meraba wajah, selain tahu kacamatanya nggak ada di sana, dia juga meringis merasakan memar yang menyebar rata.
Kesimpulannya, dia belum mati. Hm. Sekarang dia dilema antara harus senang atau sedih.
"Wanda?"
Dia menoleh mendengar suara tersebut, dan terlihat sosok samar di sisinya.
"'dira?"
Ya ampun, bahkan suaranya habis dan serak. Lehernya sakit sekali.
"Lo mau minum dulu?"
Wanda mengangguk. Dia bisa merasakan bibirnya disentuh dengan ujung sedotan plastik. Perlahan dia mulai menyesap, dan God, dia nggak ingat kapan terakhir kali dirinya merasa sebahagia ini cuma minum air mineral dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Give a Fuck [in ed.]
RomanceRenaro Bramansyah kena dare buat naklukin cowok aseksual super cuek yang ngebetein abis di kelasnya. Yah, lantaran kalo dia kalah predikat playboynya bakal kecabut, dia oke-in aja. °°° Dewata Pratama bukannya ansos atau gimana. Dia cuma nggak ngerti...