DEWATA
"Khehehe," Dewa terkekeh mengingat-ingat ekspresi Ren tadi sore, dan semakin merasa geli mengingat kemampuan aktingnya yang belum hilang.
"GAHAHAHAHAHAHA!!!"
Berasa gila dia sekarang.
Ini lumayan seru―dan membuatnya senang untuk sementara, itu yang terpenting. Entah sudah berapa lama dia nggak melakukan eksperimen dalam konteks psikologi-sosial. Seingatnya dulu dia ingin mengetes Role Theory dari Biddle & Thomas juga Psiko-Analitik Sigmund Freud, tapi harus dia kesampingkan karena kehilangan interest dengan sampel penelitiannya. Kali ini Dewa rasa si rambut pirang bisa menjadi subjek sempurna dengan poin plus sumber entertainment pribadi miliknya.
Sambil menatap langit-langit kamar, Dewa mulai menyusun rencana.
Ren jelas-jelas bilang suka seperti tadi karena terpaksa. Ya kali, cowok yang punya mantan lebih dari selusin itu tiba-tiba belok dalam kurun waktu 24 jam? Dewa masih ingat bagaimana Ren merangkul santai seorang lawan jenis minggu lalu pas jam istirahat, dikerumuni teman-temannya seperti biasa.
Ah, benar. Ini pasti ada hubungannya dengan teman-teman Ren.
Dewa langsung beralih ke ROG di meja. Dia terlibat chatting singkat dengan beberapa cewek pacar teman-teman Ren via Line, bertanya ada dimana cowok-cowok itu sekarang. Setelah mendapat lokasi yang akurat, Dewa bangkit dan menyambar kunci motornya.
Dia berangkat ke PH.
***
"Anjing, beneran serius lo Ren?! HAHAHAHAHA!!!!"
Dewa memakai tudung jaketnya dan memasang telinga tajam-tajam. Dia mengambil posisi yang cukup berbahaya, berjarak hanya satu meja dari Ren dan gerombolannya.
"DUARIUS, MEN!" Ren berseru. "Lu pada nggak bilang ke gua kalo Dewa itu hombreng!"
Dewa memutar bola mata, memijat kening. Kapan memang dia bikin deklarasi kalo dia gay? Ya kali, dia suka sesama jenis. Lawan jenis aja enggak. Dia mengelompokkan diri sebagai aseksual, dan mungkin bakal membelah diri macam amuba kalo pengen punya keturunan ntar.
"Enggak, tai. Dewa belom pernah punya hubungan apa-apa seingat gue," suara Wanda kali ini menyahut datar. "Kan gue tetangganya. Nyokap Dewa tuh seneng banget nggosipin dia sama mama, otomatis mau gak mau gue taulah sejarah dia kek gimana."
Kali ini Dewa mengusap muka, mendesah. Dasar ibu-ibu.
"Jadi gimana nih? Berarti gua udah menang kan ya? Kan Dewa bilang dia mau jadi pacar gua sekarang?" suara Ren terdengar memelas. "Udahan kali maennya, Bram."
"Enggak. Bisa aja lo bohong," tolak Bram mentah-mentah. "Kalo emang dia udah jadi pacar lo, besok di kelas lo harus sebangku sama dia, ngajak dia nge-date, atau apalah. Kita bakal nonton dari jauh, hahah~"
"Setan lo pada," gerutu Ren, dan Dewa melirik bagaimana si pirang menghantamkan dahinya ke meja tanpa ragu. "AAARGH! GUA NGGAK MAU!!"
Aduh, itu kepala udah kosong malah tambah dirusak. Dewa mendecak.
"Kalo lo nolak, berarti lo kalah! Dan artinya predikat lo sebagai playboy nomor satu nggak berlaku lagi sob, hehe," sela seseorang, entah siapa.
Dan kelihatannya itu titik vital Ren. Dewa menatap takjub bagaimana si rambut pirang langsung bangkit, menepuk dada.
"ENGGAK! GUA, RENARO BRAMANSYAH, PASTI BISA NAKLUKIN SEMUA ORANG, TERMASUK DEWA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Give a Fuck [in ed.]
RomanceRenaro Bramansyah kena dare buat naklukin cowok aseksual super cuek yang ngebetein abis di kelasnya. Yah, lantaran kalo dia kalah predikat playboynya bakal kecabut, dia oke-in aja. °°° Dewata Pratama bukannya ansos atau gimana. Dia cuma nggak ngerti...