Not a Chance

22.6K 2.8K 146
                                    

WANDARU

Wanda merintih pelan ketika air hangat dari shower bersentuhan dengan kulitnya, sementara tonjolan otot dan urat di baliknya berkontraksi beberapa detik sebelum dia paksakan untuk rileks. Cowok itu menggigit bibir, konsentrasi penuh terhadap hal selain sakit dan cepat-cepat menyelesaikan mandinya. Pagi ini dia sudah kacau tanpa harus ditambah datang telat, tolong saja.

Setengah jam kemudian, Wanda sudah sampai di sekolah. Dia meludahkan permen karet tepat ke dalam tong sampah depan gerbang dan melepas earbuds yang ia kenakan. Anak-anak sepantaran dia sudah memadati koridor, ramai macam pasar alih-alih area proses belajar-mengajar. Wajah mereka super ceria, membuat Wanda muak.

Kayak mereka nggak lagi banyak masalah aja, heh.

Ketika dia memasuki kelasnya, cowok rambut mahoni itu mengernyit melihat Bram sudah dikelilingi Terry, Adit dan Pian. Mereka berempat sekelas, di XIC IPA, sementara Ren dan Jaka di XIA. Biasanya XIC memang titik mereka buat ngumpul, tapi hari ini dia seperti ingin menjauh.

"Hei," sapa Wanda datar, lalu menghempaskan diri di bangku. Semoga nggak ada kuis dadakan, Tuhan. Otaknya saat ini sudah nggak kalah aus dengan anggota tubuh lainnya.

"Wan," Bram memanggil, terlihat seram dengan mata berkilat. "Lo kemarin ke mana seharian? Gue cek rumah lo kosong, gue telpon juga nggak lo angkat."

Jantung Wanda mulai berdegup. Anjing, dia lupa bikin alesan.

"Gue cabut sama Ren. Dia nggak bilang?"

"Elah, lo nongkrong nggak ngajak-ngajak," umpat Terry, menendang kaki kursinya. "Kan kita juga pengen makan gratisan."

"Kampret, gue nggak makan-makan," sungut Wanda, kemudian menyadari kebodohannya. "Gue sama Ren... ke bioskop. Kita nonton kemarin."

"Oh ya? Pas gue tanya Ren, dia bilang ke Gramed."

"Habis ke bioskop kita jalan ke Gramed," tukas Wanda cepat, mengerutkan kening ke arah Bram. "Emang lo sekretarisnya Ren? Kita kan nggak perlu ngasih jadwal harian ke elo, anjing."

Bram menyeringai dingin. "Emang enggak. Tapi gue ketua."

Wanda memutar bola mata, terlalu sakit kepala untuk meladeni lebih jauh. "Terserah apa mau lo, Bram."

Dia harus membicarakan hal ini dengan Ren nanti.


***


Wanda menggerakkan lehernya ke kanan dan mendengar bunyi gemeretak yang menyenangkan. Dia menguap, kemudian mengintip ke dalam kelas XIA yang masih menyisakan beberapa anak. Bel istirahat sudah berdering tiga menit yang lalu. Bram dan yang lain langsung ke kantin, sementara Wanda memilih untuk mengajak Ren lebih dulu.

Dia melihat Dewa dan Ren masih satu bangku. Mereka kayak saling adu argumen, tapi melihat senyum Dewa yang jarang dan pipi Ren yang memerah, Wanda tahu hubungan mereka pasti lebih dari teman duduk.

Si rambut mahoni juga nggak masalah orientasi seksual temannya apa. Hanya saja dia tahu beberapa homofobik macam Bram pasti akan membesar-besarkan masalah, seperti biasa. Tapi dia penasaran, kenapa temennya bikin dare semacam itu kalau tahu resikonya apa ke diri Bram nantinya.

Walau jujur, pasti nggak ada yang pernah menyangka juga kalau hubungan Dewa dan Ren bakal tumbuh seperti ini, termasuk dua cowok yang bersangkutan itu sendiri.

"Oi, lo berdua nggak ngantin?" dia bertanya sembari mendekati dua subjek yang baru dia pikirkan.

Mereka menoleh bersamaan. Dewa langsung memasang ekspresi datar-by-default-nya, sementara Ren tampak kaget.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang