The Acts

26K 3.5K 782
                                    

DEWATA

Beberapa hari setelah insiden tersebut, Dewa mengernyit. Dia bingung bagaimana caranya untuk bisa menyelesaikan laporan mengenai Ren. Mungkin dia harus menunda lagi eksperimennya? Sempat kepikiran untuk mengganti objek, tapi Dewa belum menemukan sampel yang setara atau lebih kompleks dari si rambut pirang.

Lihat aja tingkah anak monyet itu sekarang. Dia lagi ngakak bareng gengnya untuk kesekian kali, di kantin sekolah. Seolah beberapa hari yang lalu dia nggak nyoba bunuh diri gegara mereka juga.

Lama-lama Dewa sebal juga. Kok bisa ada manusia yang tahan, pakai topeng kemana-mana? Nggak capek apa tuh anak?

"Oh, Dewa! Sini Wa!"

Dewa menoleh, berhenti melangkah. Dia barusan kelar beli es cendol pake gelas plastik ukuran 24 oz karena udah ngidam dari minggu lalu, pas lewat depan meja Bram cs dan Adit tiba-tiba sok akrab memanggilnya.

Insting Dewa memberitahunya untuk nggak lagi bersinggungan dengan Ren, tapi dia penasaran.

"Apa?" tanyanya pada Adit.

"Ini nih, si Ren bilang lo jago banget masak. Geli gue dengernya! Jadi lo kalo di rumah hobinya maen masak-masakan?" ejek Adit, dan teman-temannya langsung tergelak.

Dewa mengernyit, antara heran dan terkejut karena Ren masih melihatnya dari sisi positif setelah percakapan terakhir mereka. Dia menoleh ke arah si blondie dan melihat anak itu nyengir.

Tapi matanya, astaga, apa mereka buta? Nggak ada yang sadar apa kalau mata Ren sangat dingin? Itu mata yang sama yang Ren tampakkan sebelum dia pergi dari kamar Dewa.

Entah kenapa sukses membuat Dewa merinding. Serem banget tuh anak.

Kemudian dia melirik Wanda yang kelihatan nggak enak, bungkam dari tadi. Dewa wajar aja. Dia tahu Wanda cuma kejebak sama situasi. Lagian cuma ngadepin beberapa bocah bongsor bukan masalah untuk sekarang.

"Jadi beneran lo masak? Banci banget lo!"

Dewa mengerjap. Elah, sejak kapan cowok masak dibilang banci?

"Oh ya?" dia mengangkat bahu. "Gue baru tau kalo banci itu masak juga. Bukannya mereka hobinya nongkrong terus, mejeng gitu, kayak kalian?"

Tawa anak-anak mulai lenyap. Ren menatapnya datar.

Dewa belum selesai mencerca. "Ya, terserah sih. Gue tahu otak kalian nggak muat kapasitasnya buat nyerap informasi terbaru. Eh, duluan ya gue. Ntar virus bego kalian nular lagi. Hiiy."

"Anjing lo!" tiba-tiba Adit sudah melayangkan tinju.

Dewa menghindar. Dia membiarkan Adit jatuh, kemudian dengan sigap menangkap tinju susulan dari Terry yang mengarah ke mukanya. Dia berputar, tersandung kaki Adit, dan menumpahkan es cendolnya ke kepala Bram yang masih duduk.

Si rambut hitam mengangkat alis.

"Ups," dia berkata tanpa nada menyesal sama sekali. "Bukan salah gue, Bram. Temen lo tuh, tiduran di lantai nggak bilang-bilang. Elah, cendol gue... mubazir kan jadinya," Dewa menghela nafas berat, hampir membiarkan seringai maniaknya muncul. "Eh, gue duluan dah. Pinjem Ren bentar yap."

Tanpa ba-bi-bu lagi Dewa langsung ngacir, menyeret Ren menjauh dari gengnya yang mulai mencak-mencak. Dia tertawa puas, walau dalam hati masih menyayangkan sang cendol. Ugh. Hidup memang nggak selamanya mudah dan indah.

Ketika sampai di UKS yang untungnya sepi, Dewa melepaskan Ren. Dia celingukan memeriksa koridor, sebelum menutup tirai dan mengunci pintu.

Trus dia pasang ekspresi super datar ke arah Ren yang masih aja dingin macam es batu.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang