Always You (END)

37.7K 3.1K 243
                                    

RENARO

Putih lagi, kali ini ditambah bau orang mati. Ren tahu pasti dia dimana, dan mau nggak mau cowok itu menghela nafas kesal karena tahu dia masih bisa merasakan sesuatu berdegup di dada sebelah kiri. Kelopak matanya memberat ketika dia paksa melirik ke atas. Dia menatap langit-langit kembali, nggak tahu mau ngapain.

Ren mencoba menggerakkan jemarinya dan merasakan bagian itu mati rasa. Dia melirik ke bawah kali ini, ingin bangkit, tapi sebuah rasa nyeri yang menjalar dari perut membuat nafasnya tersentak keluar dan dia terpaksa berbaring lagi. Ah ya, luka sayat di lengannya juga terasa menyengat.

Dan jujur saja, dia kaget begitu sadar satu sosok yang ia kenal ternyata tengah menatapnya horor dari tadi.

"Hei," dia mencoba bersuara dan, Tuhan, kapan terakhir kali dia minum? Suaranya serak dan membuat lehernya seperti ditusuk jarum.

"... Ren."

Dia hampir tertawa karena merasa deja vu, kemudian sadar tangannya masih digenggam oleh Dewa dari awal ia bangun. Cowok itu tampak kacau dan berantakan. Rambut hitamnya mencuat kemana-mana, mukanya begitu pucat, dan matanya...

... Ren nggak yakin apa Dewa habis nangis atau dihajar orang. Mata cowok itu kelewat bengkak dan merah.

"Jadi gua masih hidup," Ren menatap plafon yang menguning, menghela nafas lelah. "Kenapa."

Dia lebih kedengaran menuntut ketimbang bertanya, dan itu benar. Kenapa dia nggak mati, hah? Dia masih hidup itu omong kosong. Ren nggak akan pernah ngerti jalan pikiran Dewata Pratama atau bagaimana menghadapi cowok itu. Secara keseluruhan dia sudah gagal total, terbukti dari kejadian kemarin.

Ren nggak melakukan kontak mata lagi dengan cowok yang bersangkutan. Dia nggak akan berusaha apa-apa lagi. Biar Dewa tahu sekarang dia bukan manusia, tapi zombie. Itu kedengaran lebih seru ketimbang jadi subjek. Ha-ha.

"... gue nelfon ambulans."

"No shit, Sherlock," tanggap Ren datar. Dia berusaha keras tak meringis ketika Dewa mengeratkan genggaman di jemarinya mendengar respon dingin barusan.

Apa memang yang si raven harapkan? Ucapan terima kasih? You fucking kidding me?

"... gue nggak mau lo mati, Rena."

Panggilan itu. Dulu kali pertama nama tersebut keluar dari mulut Dewa, Ren merasa sangat spesial karena sebelumnya nggak pernah ada orang yang mau repot-repot memberinya panggilan akrab lain. Dan Dewa, dia akui, berhasil membuatnya merasa sangat bahagia.

"Gua udah nggak guna, Wa, sebagai subjek lu. Nggak ada untungnya dong elu nyelametin gua―ooh," sebuah ide tiba-tiba terlintas di otaknya. Ren tersenyum seakan mendapat pencerahan. "Bener juga, lu nggak mau dikira pembunuh. Sori. Lain kali gua bakal pakai orang lain."

Ren bersumpah Dewa bahkan nggak akan sadar dia nyaris mematahkan tulang jemarinya, kalau pintu kamar ia dirawat tidak terbuka dan masuk dua sosok lain yang dia kenal: Wanda plus Andira. Mereka berdua tampak kaget menyadari Ren sudah membuka mata.

"Ren!" Wanda bergegas datang  menghampiri, nadanya cemas. "Lo... lo nggak apa? Masih kerasa sakit? Astaga, lo tuh ya―"

Ocehan Wanda terhenti ketika Andira meletakkan satu tangan di bahu anak itu. Tatapannya teralih ke arah Dewa, tajam.

"Dewa, gue mau bicara sama lo di luar."

Yang dipanggil masih bergeming. Ren tahu cowok itu berusaha melubangi kepalanya hanya dengan menatap, tapi dia sendiri bersikeras memalingkan muka. Dia benci Dewa.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang