Satu hari sebelumnya ...."Ra, kata gue mah jangan salah paham dulu, kita pantau dulu," kata Intan, sahabat karib Rora melalui panggilan video.
Rora tak mengindahkan perkataan sahabatnya. Jantungnya sudah berdegup kencang dan bulir keringat terlihat di keningnya. "Nggak, feeling gue udah bener, Iqbal tuh digodain sama dia!"
Intan menghela napas mendengarnya. Disusul dengan dering lonceng menandakan Rora telah memasuki cafe tujuan.
Matanya menyapu ke setiap sudut cafe, tak ada seseorang yang ia tujui. Ia sengaja tidak langsung naik ke lantai dua, biar saja si gatel itu nunggu tanpa kepastian, batin Rora.
"Strawberry milkshake less sugar satu, large, semua topping pake," pesan Rora. Diikuti pertanyaan memastikan dari pelayan, apakah benar ia ingin memasukan
delapan topping sekaligus ke dalam satu cup minumannya, Rora pun mengangguk.Rora menunggu di bar sambil menjatuhkan pandangannya pada menu. Di antara banyak menu, pilihan percobaan pertamanya jatuh kepada rasa strawberry, ia tak pernah dikecewakan oleh rasa strawbery sejak kecil. Selanjutnya ia membalikkan badan, pandangannya menyapu ke semua pelanggan, ia tatap satu-satu. Ada yang tersadar ditatapnya, ada juga yang tidak.
"Totalnya empat puluh tiga ribu, Kak, ada lagi?" Rora menggeleng, segera ia mengarahkan kamera smartphonenya ke arah barcode untuk membayar via digital.
Jaringannya lambat, muncul keterangan transaksi gagal. Dicoba lagi, dan gagal lagi. Rora tersenyum getir ke arah pelayan kasir tadi dan mencoba meng-scan lagi dan lagi. Gagal. Jemarinya bergetar membuka resleting tas mininya, sesuai dugaannya, dia memang cashless.
"Sudah Teh?" tanya seseorang yang entah sejak kapan mengantri di belakangnya.
Rora menelan ludah tatkala menjawab. "Emm, bisa ikut hospot?"
Pria itu melihat handphonenya ragu. Handphone second dengan jaringan masih 3G itu dinyalakan datanya. Melihat ekspresi wajah lelaki itu, pelayan kasir sigap menawarkan WiFi cafe.
"Sorry, saya teh kuota chat."
"It's okay, no prob kok," kata Rora menenangkan, entah mengapa senyum getir sepersekian detik kembali terlihat terbit di wajah lelaki yang memiliki lesung pipi.
Rora menginjakan kaki secara perlahan ke tangga lantai dua. Konsep kafe ini adalah unfinished design, sehingga memiliki anak tangga yang membuat dirinya bergidik ngerti, seakan bisa runtuh kapan saja karena sengaja tidak dirampungkan. Begitupun interior lantai dua, langit-langit dengan genteng tanah liat merah terlihat begitu jelas, sehingga matahari terlihat dari beberapa celah. Sangat unik, tetapi belum mampu memikat pandangan Rora yang telah jatuh ke wanita berambut pendek. Ia melangkahkan ke arah meja semen tempat wanita itu menunggu.
"Aurora, ya? Iqbalnya mana?" tanya wanita itu dengan tersenyum.
"Gue sendiri," pungkas Rora.
" Eh, gimana maksudnya?" tanya Windy, nama akrab wanita tersebut.
"Gue sen.di.ri. Sorry buat lo kecewa. Udah ya, to the point aja, bisa nggak sih lo stop deketin Iqbal? Lo tuh ngelewatin batas!" jelas Rora, suaranya Menaik beberapa oktaf, membuat Windy terpaku dan melihat ke arah sekitar.
"Hari ini gue memang ada janji sama Iqbal, Ra," jelas Windy
"Itu yang bales gue! Lo emang kegatelan!" Rora menghentak-hentakan kakinya gemas.
"Sorry, gue ga paham, Ra, maksudnya-"
"Maksudnya, Lo ngapain tap love instastory Iqbal, reply DM Iqbal dulu, minta anterin pulang padahal nggak ada jadwal eskul? Gatel!"
"Oke, oke, tenang dulu gue bisa jelasin, kita selesain secara dewas-"
Byuurr!
"WHAT!"
Ice red velvet yang sudah tercampur dengan boba, krim keju, brownis dan kawan-kawannya kini sudah membasahi Windy khususnya rambut pendek dan baju putihnya.
Dengan sigap Windy menarik rambut Rora yang tergerai.
"Dasar cegil keparat!"
"Lo tuh yang gatel! Semuanya gara gara lo, Benalu!"
Cakaran, ringisan, dan jambakan semakin kuat hingga keluar dari meja. Sontak saja lantai dua begitu heboh.
Ada yang merekam,
ada yang sebatas melihat dari tempatnya,
ada yang langsung membicarakan mereka dengan kelompoknya,
tak ada yang melerai.Sebelum lelaki itu datang. Berdiri tegap di tengah meskipun harus kena imbasnya berupa pukulan dompet ataupun dorongan. Karyawan beserta satpam detik berikutnya sudah sampai di tempat kejadian.
"Hei! Hei! Hei! Sudah! Kalau mau berantem, jangan di sini! "
Staf manajer turun tangan menghadang Windy yang kini dresnya sudah berwarna merah. Satpam menghadang dari sisi Rora, yang rambutnya sudah awut-awutan dan rontok.
Rora masih begitu keki, sebelum ia tersadar tatapan para pengunjung tak mengarah padanya, melainkan layar handphone yang sudah menyala dengan flash. Menyorot wajahnya dan wanita itu, bahkan jarak terdekat tidak sampai satu meter.
Satpam dan manajer menarik mereka berdua turun, sebelum itu Rora sudah melepaskan genggamannya dan berjalan sendiri. Akan tetapi selanjutnya ia kembali terpaku, pengunjung lantai satu pun memenuhi tangga dan sontak berdiri ke sisi seakan mempersilahkan toko utama untuk jalan.
Baru ia menyadari kalau sudah melewati batas. Terasa sama besarnya dengan rasa kesal di hatinya.
"Hei, jangan pergi dulu!" cegah manajer, yang tidak diindahkan Rora. Detik berikutnya ramai sorakan yang mengarah padanya, diikuti layar handphone yang bergerak mengikuti arah badannya pergi ke luar.
Langkah kaki terdengar, namun ia mempercepat langkahnya dan tak berani menoleh ke belakang.
Rasa kesalnya tercampur dengan rasa malu. Anehnya ia tak masalah mengingat ini adalah perjuangan untuk mempertahankan lelaki yang ia cintai. Iqbal pasti mengerti dengan alasannya, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
When Strawberry Meet Sandwich (Wattpad Version)
Teen FictionDi ambang kesedihan akibat ditinggalkan sang kekasih secara sepihak, Rora si gadis generasi Z, haus akan atensi, memutuskan untuk memulai project bersama seorang yang baru dikenal untuk membuktikan bahwa keputusan mantan meninggalkannya salah, tanpa...