Di sinilah mereka sekarang. Ruangan penuh angin meskipun mentari bersinar terik. Sebatang gagang sapu dan pel menjadi senjata untuk segera membereskan segudang masalah-alias pekerjaan.
Setelah lima menit yang lalu mereka tertangkap basah oleh pembina OSIS, Rora dan Iqbal mendapat pembinaan-tidak berbeda jauh dengan hukuman-membersihkan masjid baik lantai atas maupun bawah selama dua jam pelajaran. Alat sapu, pel, kemoceng, kain lap, dan ember telah tersedia di ujung ruangan. Menantikan mereka berdua untuk segera menghinakannya.
"Ini semua gara gara lo," hardir Rora.
"Iya, sama-sama."
"Diiih?!"
"Kalau nggak ada saya, nggak bakal masuk, Neng!"
Rora berdecak kesal, hampir membanting gagang pelnya. Dari semua kegiatan, membersihkan tidak masuk dalam kamus hidupnya. Lelah, monoton, dan tak ada ujungnya.
"Ya tapi kan tetep aja! Harus lewat huku-"
"Nggak ada yang tetep aja. Keputusan hidup itu ada di tangan diri sendiri, kita yang ngendaliin setiap langkah kita. Dari awal saya nggak maksa kamu buat ikutin saya, inget?"
Rora telah menutup mulutnya. Apa yang dikatakan pria itu-ia baru tersadar, bahwa mereka belum sempat berkenalan-ada benarnya. Lebih baik dirinya mendapatkan hukuman menyapu dan mengepel selama tiga balik berturut-turut, tetapi memiliki kesempatan untuk bertemu Iqbal dibandingkan dirinya yang harus mencari ke sana kemari lagi.
"Iya deh, makasih, nama gue Rora, lo?"
"Kepo!"
Rora mendelikan matanya. Hatinya terasa mau meledak akibat penyesalan. Kesan pertama pria Sunda itu berbanding terbalik dengan gaya pembawaannya. Ia berpikir lelaki yang ada di depannya ini introvert bahkan bisa terlewat polos, tetapi setelah mendengar responnya tadi, ia segera menarik kata-katanya.
Sungguh, Rora merasa harga dirinya telah diluluh lantahkan."Iya deh, boleh-"
"Nggak, makasih, nggak butuh gue."
"Nama gue Fachry."
"Nggak, gue nggak denger, gue nggak liat," ucap Rora, sambil menutup telinganya.
"Gue jualan banyak makanan, pengusaha ulung! Ada risol mayo, kue sus, emmm."
"Gue nggak peduli." Masih dengan gayanya yang tadi
"Ada gehu jeletot, bala bala udang, sama donat gula juga best seller."
Rora melewati Fachry, dengan masih menutup telinganya. Ia sengaja menginjak lantai yang baru saja di prl lelaki itu.
"Siapa yang nanya? Adakah di sini yang nanya?!""Gue traktir deh donat salju, gratis!"
Rora menghentikan langkahnya. Bukan karena tawaran Fachry, melainkan suara yang berasal dari lapangan. Sepertinya upacara telah selesai, dan dilanjutkan dengan pengumuman. Rora berlari ke arah luar, melihat Pembina OSIS tadi sudah memegang mikrofon.
"Untuk selanjutnya, mari kita panggil tim basket sekolah, yang akan menjadi delegasi sekolah menuju provinsi. Iqbal and the team, silakan maju ke depan."
Benar saja, Iqbal dengan garis terbit di pipinya. Riuh sorak sorai khususnya mengarah Iqbal dari adik kelas, itu membuat wajah Rora keki. Tetapi rasa itu jauh lebih kecil dibandingkan khawatir.
Tidak ada wajah pucat ataupun sedih di sana. Ia berada berbaris di tengah, memisahkan antara team laki laki dengan team perempuan yang dibatasi dengan Windy.
Apakah semuanya akan benar-benar berakhir?
Mengingat beberapa hari yang lalu, Windy bertemu Iqbal untuk membicarakan team basket. Justru Rora malah tidak memercayainya. Tak heran jika Iqbal merasa kecewa dan Rora benar-benar merutuki kebodohannya.
Tidak bisa menunggu lama lagi, ia harus mempercepat berbicara dengan Iqbal. Bagaimanapun, apa yang ia lakukan kemarin hanya untuk mempertahankan hubungan dari segala kemungkinan yang buruk kan. Begitu batin Rora.
Rora telah meninggalkan Fachry beserta suara baritonnya, persetan lantai dua masih kotor. Ini jauh lebih genting. Akan tetapi, langkahnya lebih dulu terhenti sebelum sampai di hadapan Iqbal.
Iqbal meninggalkan teman temannya yang masih berbincang ria. Begitupun Windy. Mereka sedikit menjauh, dan duduk dengan raut serius.
Adegan berikutnya benar-benar membuat lutut Rora lemas. Sampai kini, dirinya sudah berada di kelas, tak bisa melupakan kejadian di Lapang. Kejadian di mana Iqbal memergoki dirinya sedang melihat ke arah mereka berdua.
Bukan, bukan karena memergokinya. Melainkan karena respon Iqbal. Ia mengalihkan wajahnya tepat setelah mata mereka berdua bertubrukan. Seolah tak melihat apa-apa, dan selanjutnya kembali apa yang mereka bicarakan.
"Rora, bisa tolong simpulkan apa yang saya katakan?"
Ia tergagap. Sedari tadi jiwanya masih melayang di lapangan itu. Sepertinya terlalu ketara hingga Bu Euis -guru agama dan baca tulis Al-Qur'an -menyuruh untuk kembali menjelaskan kandungan ayat suci Alquran.
"Anak jaman sekarang ini, paling nggak bisa menghargai orang sekitarnya! Egois! Tidak aneh jika anak sekarang mentalnya lembek-lembek, orang mereka sendirinya juga begitu ke orang lain!"
Rora menelan ludahnya kasar. Ia paham setelah ini pasti akan menjadi sesi ceramah hingga jam pelajarannya berakhir. Bukan tanpa sebab, ini bukanlah pertama kalinya guru berkacamata itu berceramah panjang kali lebar, dan yang lebih Rora takutkan, melebih jam pelajaran alias korupsi waktu. Tentu saja itu akan berpengaruh dan menggagalkan rencananya untuk bertemu Iqbal di istirahat pertama.
"Rora emang lagi nggak enak badan, Bu," bela Rio. Yang mendapat delikan tajam dari guru tersebut.
"Belasan tahun ibu mengajar, ibu paham betul yang mana wajah anak sakit, mana wajah yang males ikut pelajaran Ibu. Bisa jawab tidak, Aurora?"
"Bi-bisa, Bu," jawab Rora, sambil membuka halaman buku LKS-nya menuju ayat yang sedang dibahas.
Akan tetapi, nihil yang ia dapatkan.
"Kan, orang nggak niat belajar mana sempat-"
Tok tok tok!
Seluruh pandangan mata tertuju pada suara ketukan pintu. Kelas seketika hening sambil menunggu siapa seseorang yang ada di balik pintu. Momen yang jarang terjadi apabila guru tersebut sedang mengajar, ada yang menyela ataupun menganggu.
"Silakan, sini masuk!"
Anak kelas tetangga, yang apabila dilihat dari pin badgenya merupakan anggota pengurus OSIS. Ia berjalan ke arah guru tersebut untuk meminta salam.
"Mau minta kas? Nggak bisa nanti aja istirahat pertama?" Nggak sopan!"
"Bukan, Bu. Saya dititipkan pesan, Aurora ditunggu di ruang BK."
Deg!
Hati Rora sontak tercengang. Pundaknya terasa melemas dan diikuti kepala yang mulai pening.
Entah apa yang akan terjadi, yang pasti keluar ataupun tetap di sini, ia pasti akan mendapat ceramahan atas tindakannya pagi ini. Begitu pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Strawberry Meet Sandwich (Wattpad Version)
Teen FictionDi ambang kesedihan akibat ditinggalkan sang kekasih secara sepihak, Rora si gadis generasi Z, haus akan atensi, memutuskan untuk memulai project bersama seorang yang baru dikenal untuk membuktikan bahwa keputusan mantan meninggalkannya salah, tanpa...