Rora beserta ibundanya menyeruput bakso hangat dalam diam. Suasana meja makan terasa begitu janggal, ditambah dengan sebuah dokumen cokelat di pinggir meja.
"Maaf," kata Rora begitu lirih.
"Ibu yang harusnya minta maaf, Ra, ibu belum siap cerita yang sebenarnya, bahkan sampai harus anak ibu tahu sendiri."
"Ibu bisa cerita pelan-pelan, kok, Rora paham," kata Rora, sambil tersenyum, sehingga ia tersadar bahwa senyum tersebut tak seharusnya terhias diwajahnya pada saat ini.
"Maaf, sejak awal memang hubungan ini dibangun dengan pondasi yang begitu dipaksakan, Ra. Sudut pandang ibu, Hubungan ini lebih ke arah timbal balik, ibu bingung jelasinnya."
"Iya Bu," kata Rora, yang ternyata ibunya pun merasakan kebingungan dalam kondisi saat ini.
"Pernikahan Ibu dengan ayah, berawal dari malam itu ...."
"Wah, sahabat karibku! Sudah lama kita tak bertemu!" ucap pria berkepala lima sambil memeluk teman lamanya.
"Kau ini lah yang sangat sibuk, hahahaha, mari masuk hidangan sudah siap!"
"Terima kasih Pak Subroto. Ini kah anak gadismu? Cantik sekali dia, walaupun masih tidak tinggi padahal sudah pakai heels-ya? ," sapa pria berjanggut tebal, sambil melirik perempuan yang berdiri di belakang Pak Subroto.
"Hahaha iya! Ahhh, anak mah nanti ikut gen bapaknya, pinternya baru ibunya! Pendek loh aku juga, hahahaha!"
Satu kalimat itu sukses membuat gadis itu merenung di tengah anak tangga. Ia tidak menemukan korelasi antara makan malam dengan anak, sampai pria jangkung melewatinya dengan kesejukan dari sebuah senyuman di wajahnya.
Tidak, asumsinya terlalu liar, bukan? Tidak mungkin anak gadis yang dimaksudkan oleh ayahnya adalah dirinya, kan? Begitu pun sebaliknya, genetik tinggi dari ayah adalah pria tersebut?
Tubuhnya bergetar hebat, tatkala detik berikutnya lelaki itu mengulurkan tangannya, untuk mengajak dan membantu gadis itu menaiki anak tangga, sangat memperkuat asumsinya. Hingga tak tersadar ia reflek menolak dan menepis telapak tangan pria tersebut.
"Maaf, ini rumah saya dan saya bisa jalan sendiri."
Perempuan tersebut berjalan dengan tempo cepat. Tak berani menoleh ke belakang, sampai dirinya terpaksa kembali ke ingatan masa lalu, tentang ayahnya yang mengalami defisit akibat krisis moneter, dan membutuhkan suntikan dana. Hingga dirinya meyakini bahwa adalah dengan menikahkan gadisnya dengan pria tersebut.
Perjalanan pernikahan berjalan dengan baik, gadis berkacamata yang belum pernah barang kali sedetik pun berpacaran, terketuk hatinya dengan pria jangkung tersebut.
Ia menerima segala sisi lelaki tersebut, berkomitmen menuntun pria tersebut dan dirinya ke arah yang lebih baik. Memperbaiki bisnis, menghilangkan budaya judi, memiliki rumah pribadi, semuanya dapat mereka tuntaskan.
Satu hal yang gadis itu lewatkan bahkan sama sekali tak terpikirkan. Masa lalu suaminya. Mereka berdua hanya berfokus pada chemistry untuk masa depan, tanpa sesekali menoleh ke arah belakang sehingga tak tersadar meninggalkan jejak yang terus mengikuti.
Perempuan berambut pendek, sejalan dengan suaminya, yang menunggu tanpa kepastian, serta menerima meskipun bukan untuk yang pertama. Perempuan tersebut meyakini, sejauh apapun anak kucing berlari, ia akan tetap kembali ke pada pemiliknya. Meminta asupan dan kasih sayang yang tak ia dapatkan dari manapun meskipun mampu.
Mendengar suara ibunya semakin bergetar, Rora memutuskan memberinya minum dan memintanya untuk tidak melanjutkan ceritanya, yang saat ini pun masih tidak bisa tergambarkan oleh dirinya.
Ia pikir, di zaman mutahir ini, cerita klise tersebut hanya ada di film-film awal sembilan puluhan. Dirinya tak percaya, bahwa dampak perjodohan tersebut akan baru terasa detik ini.
Rasa bergejolak, entah marah, kecewa, ataupun sedih Aurora rasakan tatkala melihat ibunya yang telah menelungkup kan wajahnya pada meja makan. Bayangan sekelebat senyuman serta ingatan candaan ayahnya tentu amat kontras jika bernalar bahwa orang inilah yang membuat ibunya menangis.
Engga, ini pasti hanya kesalahpahaman, kan? Atau ... setidaknya pertengkaran rumah tangga yang pasti seluruh dunia pernah merasakannya, tanpa harus berakhir persidangan perceraian,kan?
Rora mencengkeram dokumen cokelat tersebut. Ia membatin, apakah jika ia merobek ini semua akan membangunkannya dari bunga mimpi?
Sayangnya tidak. Air matanya menetes membasahi amplop cokelat dan tutur batinnya mengatakan bahwa, semua ini nyata.
Kehangatan dekapan cinta pertamanya sejak kecil, luluh lantah hanya dengan ditandai dengan hadirnya amplop tersebut. Sama halnya dengan obrolan penuh canda tawa kekasihnya, harus rela melepaskan dan berjalan ke arah yang berbeda.
Apakah memang pria ditakdirkan untuk memiliki hak memutuskan hubungan secara sepihak?
Tanpa kata,
tanpa jejak,
tanpa kesiapan dari pihak lainnya yang ditinggalkan.
Jika berakhir luka, mengapa ia harus ada?Segala memori yang terpatri menguar serta menenggelamkan begitu cepat. Kenangan bersama ayahanda pada masa kecil, berkeliling kota dengan mobil kesayangan ayahnya pada bangku depan, diajarkan naik eskalator yang terasa begitu menyeramkan, berteduh di kedai es krim yang bahkan mengubah rasa dingin menjadi kehangatan bersama kekasihnya, berakhir retak dan tergantikan dengan bagian akhir yang tak diinginkan.
Apakah memang benar apa yang dikatakan Iqbal? Bahwa segalanya ... bermuara padanya?
Ia ingin sempat percaya, sampai dirinya mendengar penjelasan ibundanya bahwa ada faktor lain yang disembunyikan dari alibi tersebut. Rasa kasih sayang dan perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Strawberry Meet Sandwich (Wattpad Version)
Teen FictionDi ambang kesedihan akibat ditinggalkan sang kekasih secara sepihak, Rora si gadis generasi Z, haus akan atensi, memutuskan untuk memulai project bersama seorang yang baru dikenal untuk membuktikan bahwa keputusan mantan meninggalkannya salah, tanpa...