Alaska masih mengingat jelas kejadian beberapa bulan lalu saat ia memutuskan untuk lanjut ke universitas.
Keluarga yang berkecukupan, adik laki-laki yang juga baru masuk SMA. Kebutuhan yang tiada habisnya. Alaska tahu betul permasalahan keluarganya karena hal itu selalu di bahas tiap kali Alaska dimarahi oleh kedua orang tuanya.
Jemari Alaska terluka karena ia sering memainkannya, mengigitnya, mengelupaskannya. Bohong jika Alaska tidak stress saat itu. Semua emosi juga hanya bisa ia pendam karena ia pikir memanglah salahnya yang selalu menyusahkan orang tua. Apalagi keputusan besar soal pendaftaran kampus.
Erga membentak Alaska saat Alaska memberitahu niatnya. Di lorong kecil dekat kamarnya, Erga tidak henti-hentinya memarahi Alaska dengan beribu bahasa yang membuat Alaska sakit hati.
Alaska takut.
Matanya memanas karena ia ingin menangis. Tapi ia juga perlu membela dirinya yang sudah teguh akan pendiriannya untuk mengubah jalan hidupnya.
Berkali-kali Alaska berbicara dengan sopan, tapi di mata Erga itu hanyalah sebuah ketidak patuhan terhadap orang tua. Hingga Erga berhasil melayangkan tamparan di pipi Alaska hingga Alaska diam seribu bahasa.
Nafasnya tidak beraturan, ia ingin nangis, ia kesal, ia marah, ia ingin berteriak tapi tidak bisa membuat tubuhnya yang rapuh menahan semua emosi itu hingga dimana asma Alaska datang.
Alaska meremas ujung bajunya, mencoba mengambil nafas pelan-pelan sambil memandangi ayahnya dengan pikiran kosong.
"Apa kamu dengar Ayah! Ini anak. Kamu anak orang lain, sifat kamu ini pasti turunan kedua orang tua kamu yang bisa ayah pastikan bukan orang baik-baik." Erga berdecak seraya tertawa kecil. Ia lalu memukul lengan Alaska. "Alaska! dengar apa kata ayah! Apa kamu ada uang? Apa kamu ada kontribusi bagi keluarga yang udah miskin ini?"
Alaska mengangguk pelan, semakin lama nafasnya seperti akan hilang. Sampai Alaska kini terjatuh dan duduk di lantai dingin. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya dan Erga yang melihat itu sudah terbiasa.
"Ini lah yang buat Ayah menyesal adopsi kamu. Kamu sakit dan membawa kehancuran ke keluarga ini. Lebih baik daripada sakit bukannya kamu mati saja."
Saliva Alaska tercekat. Pikirannya yang kosong kembali begitu Erga mengatakan hal itu dan suara Erga terus mengulang di dalam kepalanya.
Mati?
Semakin Alaska pikirkan, semakin tubuhnya sakit. Ia lalu mengeluarkan inhalernya dan menatap benda itu.
Apa lebih baik mati?
Ingatan pada saat itu. Ucapan dari ayahnya pada saat itu. Semua masih tercetak jelas di ingatan Alaska bahkan sampai saat ini.
Alaska memejamkan matanya di dalam kamar. Alaska tidak tahu apa yang ia kejar di dunia ini. Toh, kehidupannya dari dulu sudah sangat tidak beruntung. Benar kata ayah. Kedatangan Alaska hanya membawa kehancuran bagi keluarga ini.
Lantas apa gunanya ia hidup?
Sial. Pikiran seperti ini Alaska tidak menyukainya. Tapi seperti melekat padanya. Semua tidak berjalan sesuai kehendaknya.
Apa Ayah dan Ibu kandungnya masih ada di dunia ini? Bahkan jika adapun mereka pasti meninggalkannya karena Alaska memiliki penyakit, bukan?
Alaska tersenyum tipis. Lucu jika semua itu adalah jawaban atas hidupnya.
🍭
Danial mengeringkan rambutnya dengan hairdryer sambil memainkan ipadnya karena masih banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan di kampus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hope in my home || NCT
Fiksi Remajakisah seorang lelaki dengan takdir yang selalu mempermainkannya. Ia tidak sengaja harus berpisah dengan keluarga aslinya tapi siapa sangka bahwa selama ini keluarganya berada sangat dekat dengannya. BROTHERSHIP, FAMILY🍭