Satu tetes, dua tetes, matanya setia menatap kosong tetesan cairan kental yang mengalir dari pergelangan tangan kirinya. Kepuasan? Ia tak mendapatkan itu setelah ia dengan berani melukiskan dua goresan panjang pada kulitnya yang sudah terdapat beberapa bekas serupa. Bukankah harusnya hatinya merasa lega? Tapi bahkan sampai saat ini jantungnya masih berdetak cepat, tangannya masih gemetar hebat, dan matanya masih mengeluarkan bulir asin yang meluncur bebas melalui pipi tirusnya. Rungunya masih mendengar teriakan dua orang dewasa yang memekakkan telinga, tangisan, disusul suara pecahan yang begitu nyaring. Nafasnya kian tercekat, pengap, ia butuh udara. Tubuhnya kini telah limbung membentur dataran keras yang ia pijak. Gelap, matanya tak mendeteksi cahaya sedikitpun. Mencoba beberapa kali mengerjab, nihil. Tiba-tiba perasaan damai ia rasakan. Perlahan ia menutup matanya, menyelami kegelapan, tempat yang hanya bisa ia jangkau.
.
Ia merasakan usapan pada kepalanya, terpaksa ia membuka mata perlahan, yang tertangkap hanya warna putih. Tercium bau obat-obatan serta citrus. Mengedar pandangan, ia tahu kini ia sudah berpindah tempat. Netranya menangkap warna merah muda diantara warna putih, begitu mencolok. Atensinya menatap malas pemuda pemilik Surai itu. Ia mendengus dan matanya kini berpindah ke arah pergelangan tangannya yang sudah terbalut perban.
"Lagi?" Suara pemilik Surai merah muda itu terdengar. lelaki itu menatapnya sendu. Ia tak suka dengan tatapan itu, penuh rasa kasihan. Ia mengalihkan atensinya ke sembarang tempat.
"Pi?" Suara lelaki itu kini lebih melembut. Ia menghela napas lelah. Ia menatap malas pemuda itu.
"Gue lagi males debat Lin" Kembali ia mengalihkan pandangannya, ia lebih baik melihat pemandangan luar jendela daripada harus menatap wajah Lin.
"Gue tahu, gue juga gak lagi ngajakin lu debat. Gue cuma ingin tahu penyebab lu pingsan di gudang"
"Lu yang bawa gue kesini?"
Lin mengangguk. Ia tentu begitu terkejut saat mendapati Upi yang telah terkulai lemas tak sadarkan diri di gudang belakang sekolah, seorang diri, dihiasi beberapa tetesan darah dari pergelangan tangannya. Lin yang saat itu hendak menaruh berkas-berkas UKS yang sudah tak terpakai segera membopong gadis itu ke UKS. Ia bernapas lega mendapati lorong yang sepi, jelas, ini sudah masuk jam pelajaran.
"Kenapa lu masih bawa silet, Pi? Bukannya gue sudah pernah bilang jangan pernah bawa benda tajam bentuk apapun"
Upi hanya memutar bola matanya jengah. Apa Lin tak bisa menahan diri untuk tak mendebatnya. Ia bahkan baru saja siuman.
"Lu tuh cerewet ya Lin,"
"Pi!" Lin menaikkan nada suaranya. Tidak tahukah Upi bahwa ia cemas, ia peduli pada keadaan Upi.
Upi berdecak gemas. Ingin Sekali ia menjahit mulut Lin agar tak membuat gendang telinganya gatal. Ia membalikkan tubuhnya, berbaring membelakangi Lin. Ia tak mau menguras energi meladeni Lin yang pastinya akan sangat cerewet jika menyangkut keadaannya. Upi mendengar hela napas dari belakang punggungnya. Lin menatap sendu punggung Upi.
"Gue peduli sama lu, Pi" lirihnya. Ia hanya ingin mengetahui kejadian yang menimpa Upi saat di gudang hingga bisa menimbulkan genangan darah.
"Gue- gak tahu," lirih Upi. Ia benar-benar tak tahu jika keputusannya membawa silet berakibat petaka. Ia kira ia tak akan kambuh lagi. Sudah berbulan-bulan ia tak lagi menyiksa dirinya karena rasa trauma itu tak pernah datang lagi. Maka dari itu, tanpa berpikir panjang ia membawa silet, jelas ia butuh silet untuk membuka kardus-kardus yang tertutup rapat oleh lakban. Ia hanya berniat mengambil beberapa peralatan karate yang sempat ditaruh di gudang karena memenuhi ruang latihan. Ia tak tahu, netranya yang hanya menangkap gelap karena lampu gudang yang tiba-tiba mati membuat pikirannya dengan spontan mengorek masa lalu, memunculkan trauma yang sudah berbulan-bulan tenggelam oleh kenangan-kenangan indah yang ia buat dengan susah payah, membuat dadanya sesak. Maka tanpa pikir panjang ia mengambil silet untuk meredakan rasa gemetar hebat yang melanda tubuhnya. Bahkan ia sampai susah payah menggoreskan dua sayatan panjang di pergelangan tangan kirinya. Namun, ternyata sayatan itu tak berefek apapun. Ia tetap ketakutan mendengar suara teriakan orang tuanya, tangisan adik kecilnya yang masih bayi, suara pecahan piring, dan ia dapat melihat dirinya yang masih kecil meringkuk takut di dalam lemari yang pengap, sesak, dan berbau kapur barus.
Upi merasakan ranjang yang ia tempati bergerak. Ia kini merasakan rengkuhan dari arah belakang tubuhnya. Hangat, rengkuhan Lin selalu hangat.
"Maaf," ucap Lin lirih. Ia mengeratkan rengkuhannya. Memeluk perut ramping Upi dengan kedua tangan kekarnya.
"Kalau ada orang gimana?" Upi akui rengkuhan yang Lin berikan begitu membuatnya nyaman. Namun ia tak ingin mengambil resiko, ini UKS, area sekolah. Ia tak ingin mendengar gosip yang membuat gatal gendang telinganya.
"Gak ada. Ini jam pelajaran terakhir. Gak mungkin tiba-tiba ada orang sakit"
Mendengar itu, Upi memilih membalikkan tubuhnya, Ia merengkuh erat tubuh atletis Lin, mencari posisi nyaman. Lin membalas rengkuhan Upi tak kalah erat. Mengusap punggung Upi pelan agar tertidur nyaman.
.
"Pi, bangun" Lin mencoba membangunkan Upi selembut mungkin. Upi mengerjap matanya pelan. Ia sedikit menjauhkan diri dari rengkuhan Lin guna melihat wajahnya.
"Sudah waktunya pulang?" Tanya Upi menatap Lin. Lin mengangguk, tangannya kini membenarkan Surai Upi yang sedikit berantakan.
"Mau pulang bareng?"
"Lu gak pulang bareng pacar lu?" Seketika Lin teringat bahwa ia sudah berjanji akan kencan sehabis pulang sekolah dengan pacarnya. Ia menatap Upi dengan raut bersalah.
"Maaf, gue ternyata udah janji bakal jalan habis pulang sekolah," Upi yang mendengar itu hanya mengangguk santai. Ia kini beranjak dari ranjang UKS, disusul Lin.
"Mana tangan lu, Pi?" Upi menjulurkan kedua tangannya. Lin dengan perlahan memakaikan hand-band baru berwarna Oren di pergelangan tangan Upi. Lin selalu menyiapkan stok hand-band untuk jaga-jaga jika Upi melakukan tindakan yang tak disukainya.
"Makasih, Lin," ucap Upi dengan tersenyum. Ia melihat pergelangan tangannya yang telah tertutup hand-band. Hand-band yang sebelumnya ia pakai telah bercorak noda darah, ia beruntung Lin selalu menyimpan hand-band cadangan.
"Pulangnya hati-hati. Nanti Sampai rumah langsung makan ya" Lin mengusap Surai Upi pelan, Upi yang mendengar itu hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
Mereka keluar dari ruang UKS dan berjalan berlawan arah menuju kelas yang mereka tempati.
Tbc
.
.
.
.
Haloo semuaaaaa
Semogaa masih ada yang menunggu cerita ini.Kali ini dengan Chara cowoknya yaitu Lin.
Kenapa Lin?
Ya ga tau kok tanya saya.
Ga deng.
Eumm, karena ide ceritanya yang muncul yang ini dulu wkwkwk. .
Oke deh,
Jangan lupa vomentt yaaaa
Soalnya voment kalian semangatku.See you di chapt selanjutnya.