sixteen

7 0 0
                                    

Pagi sekali. Sangat pagi. Terlalu pagi. Apa lagi ya? 너무 pagi. (sangat)

.....

Intinya pagi banget.

Jam 06.00. Bayangin aja jam segitu udah ada manusia berisik di rumah gue. Tapi, Mama-Papa senang banget. Mereka mengobrol akrab. Gue juga senang sih- maksudnya senang rumah jadi ramai. Biasanya kan cuma ada gue sama Bang Rey, sepi kan tuh.

"Makasih banyak, Om Tante. Ikal izin nganterin Key dulu ya," kata Bang Ikal sambil mencium tangan Papa-Mama.

Iya, ini Bang Ikal.

Ini inisiatif dia sendiri yang mau jemput gue. Jam enam. Padahal kelas gue baru dimulai jam sembilan. Gak tahu deh mau apa, yang pasti rencana dia ini sempat bikin Bang Rey ngomel-ngomel. Modus katanya. Tapi, Mama-Papa udah mengizinkan gue pergi. Ya gimana gak diizinin, izinnya aja langsung begitu. Bukan gue yang minta izin, Bang Ikal yang minta makanya Bang Rey protes banget tadi.

"Pokoknya seharian ini, lo harus sama gue. Pas lo lagi ada kelas, gue bakal diem di kantin. Ikutin mau gue atau gue culik ke puncak," ceramahnya puanjuang lebuar.

Gue? Memutar mata dengan malas karena ini masih pagi tapi udah banyak banget kalimat yang keluar dari mulut dia. "Mending ke puncak aja sih, Bang. Di kelas mumet."

Dengan santai seperti di pantai, Bang Ikal menyalakan music player. "Oke! Nanti lo selesai kelas, kita ke puncak."

"Kalau nunggu selesai kelas, yang ada gue tumbang, Bang."

"Baguslah! Habis tumbang, lo disuguhi pemandangan indah khas puncak," jawabnya sambil menggerakkan tangan seolah-olah pemandan itu ada di depannya.

"Alay alay!"

Bang Ikal ketawa. Puas banget. Tapi, saat itu juga gue baru sadar kalau ini bukan jalan menuju kampus. Alhasil, gue menatap manusia samping gue dengan kening berkerut karena heran.

"Kenapa?" tanya Bang Ikal yang sadar gue lihatin mulu dari tadi.

"Lo beneran mau nyulik gue?"

"Iyalah!"

"GUE ADA KELAS, BANG IKAL! Jangan sekarang donggg. Kan besok juga kita keluar bareng Namira."

"Itu beda konteksnya."

"Apanya yang beda? Sama-sama keluar juga."

Bang Ikal pura-pura mikir terus menjawab pakai wajah bijak, "Itu piknik keluarga, kalau ini date."

"APAAN PIKNIK KELUARGA? Emang Bang Ikal keluarga gue?"

"Calon," jawab Bang Ikal tegas.

Gue pura-pura kaget sambil menutup mulut dengan tangan. "Bang Ikal mau nikah sama Namira? Sejak kapan naksir? Kok gak bilang-bilang gue? Kan gue bisa bantu."

"Nanti lo cemburu."

Gue merotasikan mata dan buang muka karena pipi gue udah terasa panas. "Idih! Ngapain gue cemburu?"

"Kan lo cintanya cuma sama gueeeee."

"Mau banget dicemburuin gue."

"YA MAU LAH."

BISA GAK SIH GAK NGOMONG KAYAK GITU!


🐻🐻🐻



Selama satu jam kita berkendara dan sampailah di sini. Warung makan sop iga. Mungkin Bang Ikal mau ngajak ribut karena sebenarnya gue gak terlalu suka sapi.

"Bau sapi, Bangggg," rengek gue yang gak mau turun.

"Enggak. Turun cepet!" kata Bang Ikal sambil melepas seatbelt nya.

"Gak! Lo aja yang makan sana!"

"Gak akan bau sapi, Keysaaaa. Gue udah sering ke sini."

"Ya kan lo suka sapi."

Bang Ikal gak menggubris gue dan membuka pintu mobil. Sebelum keluar dia menatap gue dan mengeluarkan suara tegasnya, "Cepet turun!"

I don't give a care. Gue gak keluar mobil, gue justru melipat tangan di dada. Tapi, gak lama Bang Ikal membuka pintu di pinggir gue. Mukanya masih tegas lalu berkata, "Lo belum sarapan. Cepetan turun."

"Gue muntah, lo mau tanggung jawab gak?" tanya gue menghadap ke Bang Ikal.

Bang Ikal memang bukan tipe orang yang gampang menyerah, tapi tiba-tiba dia menghembuskan napasnya singkat lalu tanpa aba-aba dia memajukan badannya untuk membuka seatbelt yang masih gue pasang. "Not smelly, Key. Percaya deh. Ayo cepet turun," ujarnya dengan suara yang lembut.

Seperti belum puas bikin jantung gue gak aman, dia malah jongkok di samping gue dengan tangannya yang udah memegang kedua tangan gue bukannya masuk ke dalam warung makan itu. "Gue udah ajak Andy ke sini loh demi lo. Lo tahu kan Andy gak suka sapi sama kayak lo? Tapi dia masuk, dia makan di dalem, lahap banget loh pas si bocil makan. He said the ribs are good. Lagian mana mungkin juga gue ngajak lo makan ke tempat yang bikin lo gak nyaman."

Gue... Masih kicep. Ini terlalu mendadak untuk gue- atau gue yang terlalu lambat?

"Yuk! Gue jamin lo suka," lanjutnya yang sudah berdiri. Tangannya belum melepas genggaman tadi.

Then, I felt like I was hypnotized. Gue keluar dari mobil dan masuk ke warung makan sop iga itu. Masih tercium bau sapi, tapi gak seburuk itu.

Kita duduk di kursi yang ada di pojok karena hanya itu kursi yang gak terisi. Seorang pria dengan kumis tebal datang dan mencatat semua pesanan Bang Ikal. Sementara, gue masih mencoba untuk menghentikan deru yang berpusat pada jantung gue.

Sadar akan kegugupan dari sisi depannya, Bang Ikal tertawa kecil-ganteng. "Lo kenapa hm?" tanya Bang Ikal lembut.

Layaknya orang bodoh, gue terperangah. Mencoba untuk terlihat biasa aja—yang kayaknya cuma sia-sia karena Bang Ikal kembali tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Gue- gapapa! Gue gapapa. Emang kenapa?"

Bukannya menjawab, Bang Ikal malah tergelak. "Lo lucu banget. Demam apa gimana? Muka lo merah amat," katanya sesudah puas ketawa.

Gue gak berani buat terus-terusan memperhatikan dia, jadi gue buang muka. Lagi. "Panas, Bang."

"Panas apaan? Kipas ada di atas lo tu."

"Iya, tapi gak ngarah ke sini," jawab gue sekenanya seraya bermain hp.

"Manja manja. Anak bungsu manja. Adeknya Si Engkoh manja," ledeknya yang diakhiri juluran lidahnya. Sangat bokem memang pria ini.

"Diem, anak sulung. Gak usah cerewet."

"Anak bungsu manjaaaaa."

"Anak sulung berisikkkk."

"Ya udah gue diem nih." Seketika Bang Ikal diam melipat tangannya di atas meja. Gak lupa wajahnya yang sedang diusahakan terlihat polos disertai senyuman menyebalkan.

So annoyed! Tapi- ini gak tahu gue yang receh atau memang wajah Bang Ikal yang lawak, gue terbahak lihat dia sekarang. "Jelek, Bang. Gak usah gitu."

"For your information aja Key, cowo yang lo katain jelek tu cowo yang selama ini dikejar-kejar banyak cewe karena genjrengan merdu dari gitar kesayangannya."

"Maaf Bang, saya gak ada receh. Pintu keluarnya lewat sana ya. Makasih."

"Semerdeka lo aja dah," tutur Bang Ikal yang memusingkan matanya malas.

Gue tertawa tak tertahankan sih.

Yang ternyata disusul senyuman dari Bang Ikal. Hangat. Dan... Manis.

to be continued...

Kata Aku, "Kamu Lucu!"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang