HISTORIOGRAFI ATAU SASTRA SEJARAH

3 0 0
                                    

Terimakasih sudah mau bertahan sekali lagi untuk melanjutkan hidup. Berat sekali rasanya jika orang lain menerima kita, tetapi kita tidak bisa menerima diri kita dengan penerimaan yang sempurna. Matahari tenggelam dan bulan akan terbit. Entah redup atau terang, semesta selalu tahu cara agar kita tetap bertahan.

Aku senang melihat senyum simpul Nawal bersemi kembali. Mengubah kesedihan menjadi kekuatan adalah hal baik yang tidak semua orang bisa lakukan. Tidak mengapa jika sesekali patah.   Menangislah sebentar, kemudian kembalilah berproses untuk kebersamaan yang kelak menjadi cerita sehabis domisioner nanti.

Kali ini divisi kastrat mencapai proker puncak yaitu klinik sejarah. Penelitian sejarah adalah riset yang berbeda dengan disiplin sosial humaniora lain. Objek kajiannya adalah masa silam yang terpaut jauh dengan sejarawan, sehingga bagi sejarawan pemula  metode sejarah diperlukan untuk media interaksi dengan sumber sejarah.

“ Klinik sejarah adalah proker unggulan divisi  riset stategis dan kita harus menyajikan yang terbaik. Saya sebagai ketua pelaksana mengajukan opsi pelatihan historiografi. Barangkali ada opsi yang lain?”Ucap Nawal mengawali rapat divisi.

Mas Abshar memilih Nawal untuk menjadi ketua pelaksana karena dia dinilai memiliki potensi untuk menjadi kordinator kastard selanjutnya. Menurut Mas Abshar, Nawal bukan hanya mengerjakan proker dengan selesai, tetapi keaktifannya di kelas dan literasinya yang luas mampu meningkatkan minat baca orang-orang sekitarnya.

“ Aku setuju, Na. Menurutku untuk klinik sejarah lebih baik kita mengambil pelatihan historiografi. Buku-buku sejarah di Indonesia kebanyakan membahas sejarah secara filosofis dan metodologis, tetapi  mereka lupa jika sejarawan pemula lebih membutuhkan praktik metode sejarah” Ucap Zain menyetujui pendapat Nawal.

“ Izin masuk ketua pelaksana!”   Aku mencoba menyela perbincangan.

“ Silakan, Khana”

“ Menurut saya mengapa kita tidak mencoba menampilkan sastra sejarah sebagai sebuah hal baru. Pada abad Sembilan belas penyajian sejarah mulai bergeser dari historiografi ke berbagai macam penyajian, seperti sastra, museum, pameran, lukisan, dan lainnya” 

“ Pada abad kesembilan belas penyajian sejarah  melalui historiografi dinilai hanya bisa dipahami oleh akademisi, sehingga sejarah perlu ditampilkan melalui sastra sebagai imajinasi sejarah”

“Menurut Kuntowidjoyo penggunaan sastra sejarah memiliki peran penting untuk memunculkan sejarah kaum terpinggirkan yang tidak terdapat dalam narasi sejarah Indonesia”

“ JANGAN, ANJING, Lihat historiografi prodi kita belum ada yang bagus, COK!”

Zain yang tidak terima dengan saranku langsung mengamuk. Tanganya digebrakkan ke meja yang menandakan dia berada di pihak kontra.

“ Kita sudah ada mata kuliah Metodologi penelitian sejarah, Zain” Jawabku membela

“ Output kita mahasiswa, ANJING. Pemateri kita juga dari alumni pengurus himpunan, ketika kita mengupas sastra sejarah, maka kita harus mendatangkan pemateri dari luar, dan budgetnya mahal!”

Keadaan kian memanas. Zain yang tidak setuju dengan pendapatku terus saja mencecar dengan bermacam alasan. Beberapa anggota ikut menimbrung. Sebagian setuju denganku, sebagian yang lain di pihak Zain.

“ Bagaimana jika kita mengangkat dua genre penulisan?”

Nawal menawarkan jalan tengah. Semua anggota terdiam. Tidak ada sanggahan.

“ Metode sejarah adalah pengetahuan dasar yang wajib dimiliki oleh sejarawan, tetapi krisis pendekatan historiografi juga tidak bisa diabaikan. Sastra sejarah sebagai alternative untuk memunculkan narasi-narasi terpinggirkan juga perlu diketahui oleh mahasiswa sejarah”

“ Terkait permasalahan budget untuk historiografi kita bisa meminta tolong dosen tetap Ilmu Sejarah sebagai pemateri, dan untuk sastra sejarah aku bisa meminta tolong kepada teman-teman klub baca Toer untuk membedah Tetralogi Mangir-Arus Balik-Arok Dedes”

Satu Periode Bersamanya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang