7. Noche.

38 9 0
                                    

"Seharusnya, aku tetap berada
di dekatmu malam itu."
-Fandhika Dewana Ardennawa.




Happy Reading.

Perlahan, kelopak matanya terbuka, menyambut hangat sinar mentari yang menerobos masuk melalui jendela. Ia mengerjapkan mata, membiarkan pandangannya beradaptasi dengan cahaya yang lembut. Sekeliling kamar terlihat samar-samar, namun semakin jelas seiring kesadarannya terkumpul. Suara kicauan burung di luar jendela seakan menyambut kedatangannya ke alam sadar.

Violet bangkit dari tempat tidurnya, melangkah menuju meja belajar untuk menulis surat keterangan sakitnya. Setelah merangkai kata-kata pada secarik kertas itu, kakinya melangkah dengan sempoyongan ke lantai satu, menuju pintu utama.

Beberapa murid berlalu lalang ke arah EIS untuk memulai kegiatan mereka hari ini. Namun, sejauh mata memandang, belum ada satu pun murid yang satu kelas dengan perempuan itu. Ditatapnya kertas tanpa amplop itu, sebelum akhrinya ada seorang perempuan dengan surai yang dikepang satu menghampiri dirinya.

"Sini, titip ke aku aja," Perempuan itu tersenyum saat Violet menatap kaget dirinya.

"Sama-sama," Padahal Violet belum membuka suaranya untuk berterima kasih, tapi gadis cantik itu sudah berbalik badan. Berlari menyusul temannya yang menunggu sedikit lebih jauh.

Violet kagum, gadis cantik tadi tidak hanya fisiknya yang dapat dikagumi oleh banyak orang, tapi kebaikan dari hatinya juga.

Ingin rasanya Violet menjadi gadis itu.

•••

"Violet ijin?" Lelaki dengan kacamata yang mempermanis dirinya itu mendongak, menatap gadis di hadapannya yang tadi memberi surat izin dari teman sekelasnya.

"Baca suratnya tadi namanya Violet kok. Anak di kelas lo," ujarnya. "Gue cabut dulu," Perempuan cantik itu berbalik badan, menghampiri teman-temannya yang tengah menunggu di luar perpustakaan.

Setelah memasukkan surat ijin Violet ke saku bajunya, lelaki yang berstatus Ketua kelas itu segera bangkit dari kursi tersebut untuk melangkah menuju kelas.

"Dhika juga ijin tadi," Saka berucap.

Dua insan yang tadi mendengar percakapan Ketua kelas mereka dengan seorang perempuan dari balik rak buku lain itu bertatap mata. Mereka berdua duduk di lantai granit perpustakaan, entah sudah berapa lama mereka bertahan di lantai dingin itu sembari mendengar apa yang dibicarakan dua orang tadi.

"Si bucin itu beliin hadiah untuk Violet," Saka kembali menatap ponsel yang miring di genggaman kedua tangannya itu. Ia meminjam ponsel Arunika sedari kemarin, lelaki itu sepertinya akan mati jika tak menyentuh gawai sehari saja.

"Violet sendiri kenapa? Lo tahu?" Arunika berbisik.

"Mana gue tahu," Saka mengendikkan kedua pundaknya, masih tak menatap Arunika yang sedari tadi memerhatikan dirinya.

•••

Keadaan kelas begitu membosankan siang ini, Guru di kelas itu hanya menjelaskan materi dari awal jam masuknya. Membuat perut para murid yang tengah menahan kantuk terdengar keroncongan. Ingin rasanya mereka berlari dengan cepat ke arah kantin meski lonceng yang menandakan waktu istirahat belum juga berbunyi.

Arunika asik mendengarkan Guru pria itu sembari mencatat beberapa yang menurutnya penting, sementara Saka? Lelaki itu tengah memeluk perutnya yang sudah tak tahan akan rasa lapar yang menjalar ke semua anggota tubuhnya. Membuat otaknya serasa tak berguna untuk berada di tubuhnya yang merinding karena rasa lapar ini.

Lumen Spei. [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang